Yuhuuu :D.
Pagi ini mau post naskahku yang dimuat Percikan Gadis sekitar akhir Maret lalu. Naskah ini nulisnya ngawur. Asli. Aku kalo bikin cerpen (mau mini atau nggak mini), aku biasanya bermula dari ngawur.
Tahap pertama nulis cerpen, opening dan endingku kadang nggak nyambung. Baru nyambung keesokan harinya hehehe.Karena kalo nulis cerpen, patokan pertamaku adalah: Letakkan tokoh di mana pun yang aku mau, kasih konflik. Ini tips dari salah satu penulis favoritku, dan cocok buat aku :). Belum tentu cocok buat orang lain lho yaaa. Jangan keburu protes (lagi musim protes sekarang ini, tapi aku nggak suka menanggapi protes di dunia maya. Sini langsung datengin diriku. Protesnya sambil makan, ntar aku tanggapi hehehe)
Oya, aku nulis ini pas masa berkabung. Jadi isinya rada curhat. TAPI...
Oya, aku nulis ini pas masa berkabung. Jadi isinya rada curhat. TAPI...
1. Aku belum mau berangkat ke Kanada dalam waktu dekat ini hehehe
2. Pas nulis naskah ini, aku nggak sedang berulang tahun. Namanya aja aku ngawur.
3. Aku nulis dan ngirimnya bulan Januari 2016, kalo nggak salah.
SEMUA AKAN
BAIK-BAIK SAJA
“Happy birthday to me,” Maya berbisik
pada dirinya sendiri.
Ia
menyingkap tirai, di luar masih gelap. Maya mendorong jendela hingga terbuka,
lalu udara segar ciri khas pagi menyembur, memenuhi paru-parunya.
Segera
Maya turun dari tempat tidur. Kesepian menyergapnya tiba-tiba. Maya menarik
napas panjang. “Tidak apa-apa,” bisiknya.
Melangkah
mantap, Maya melirik foto orangtuanya yang berdiri di atas televisi. Tak ada
ucapan selamat, tak ada kecupan. Lagi-lagi hati Maya protes. Dan untuk kedua
kalinya Maya bergumam menguatkan diri, “Tidak apa-apa.”
Di
luar, langit berwarna kelabu mulai tampak samar. Beberapa saat kemudian,
gerimis tipis luruh. Gerimis selalu mengundang kenangan. Kenangan demi
kenangan, sekecil dan seremeh apapun, mendesak-desak kepala Maya. Gerimis,
momen ulang tahun, dan kenangan bersatu padu membentuk belati tak kasat mata
dan mulai menggores hati Maya.
Tangan
Maya erat menggenggam gunting. Seraya menggunting tangkai-tangkai mawar, Maya
kembali berkata pada dirinya. “Semua akan baik-baik saja.”
Maya
berusaha meyakinkan diri, bukan hal aneh merayakan ulang tahun sendirian. Harry
Potter juga sendirian. Di luar sana juga banyak anak yang berulangtahun tanpa
siapa-siapa. Dunia tidak akan kiamat hanya karena ia berulangtahun dalam
kesendirian.
Terkumpul
sudah sekeranjang bunga mawar merah segar. Maya beralih pada pot bunga asoka.
Dipotongnya batang pohon asoka, diletakkannya di atas keranjang. Kemudian ia
memunguti bunga-bunga asoka yang berjatuhan, meletakkannya juga di dalam
keranjang.
Gerimis
sudah reda. Maya bersyukur dalam hati. Segera ia bersiap-siap. Mengenakan
celana training dan kaos lengan panjang, Maya menyambar keranjangnya lalu
berangkat.
Keriuhan
aktivitas hari minggu menyapu kabut-kabut kesepian dalam dirinya. Maya terus
berjalan, mengabaikan dingin sisa gerimis. Lima belas menit berjalan, ia
berbelok ke sebuah tempat yang dinaungi gapura.
Burung-burung
mencericit tiada lelah. Kupu-kupu berwarna kuning dan putih beterbangan
kesana-kemari. Bahkan di tempat seperti ini pun, hewan-hewan begitu sibuk dan
ceria, batin Maya bergumam.
Maya
berhenti di bawah naungan pohon kamboja. Di sana, berdiri dua pusara. Pusara
ayah dan ibunya.
“Selamat
pagi, Bu. Selamat pagi, Pak. Hari ini, aku berulangtahun. Tapi jangan khawatir.
Aku tidak menangis. Bukankah takdir Tuhan adalah yang terbaik? Oh ya. Ini,
bunga asoka kesukaan pesanan Bapak.” Maya menancapkan batang pohon asoka di
dekat pusara bapaknya. Nantinya, batang pohon asoka itu akan rimbun oleh bunga
dan dedaunan.
“Ini,
bunga mawar kesukaan Ibu.” Maya menaburkan mawar di atas makam ibunya, lalu
bergantian di makam bapaknya.
Maya
memandangi makam kedua orangtuanya. Sekonyong-konyong matanya dipenuhi kabut air
mata. Cepat-cepat ia mengerjap, berusaha menguatkan hati. “Terima kasih sudah
menjadi orangtua terbaik bagiku. Terima kasih sudah mendukung dan mendoakanku.
Dua minggu lagi aku jadi akan berangkat pertukaran pelajar ke Kanada. Harusnya
kalian menemaniku sampai bandara. Kalau saja kecelakaan itu... Ah. Maaf, Pak,
Bu. Aku lupa. Bukankah takdir Tuhan adalah yang terbaik? ”
Lalu
Maya berbalik dan mendongak. Mendung tersapu sinar matahari. Langit membentang
biru. “Pak, Bu. Aku pamit dulu. Nyaris seminggu rumah kita tak kubersihkan.
Jangan khawatirkan diriku. Aku akan baik-baik saja. Bahkan jikapun tidak, aku
akan tetap berusaha baik-baik saja. Sebelum hari keberangkatan ke Kanada, aku akan
kemari lagi. Sampai jumpa.”
Maya
berdiri, menarik napas panjang dan melangkah pergi. Sinar lembut matahari
menerpa punggungnya. Kupu-kupu kecil beterbangan di depan matanya. Maya
tersenyum menatapnya.