![]() | ||
Novel Ayat-ayat Cinta 2 |
“Ketahuilah,
himmah adalah wadah taufik. Kendarailah kuda himmah, niscaya kamu
akan mencapai puncak cita-citamu. Mintalah pertolongan Allah dalam
setiap langkahmu, maju maupun mundur. Niscaya tidak akan sia-sia
jerih payahmu dan akan tercapai cita-citamu. Lazimkan sikap shidiq
dan ikhlas, karena keduanya harus dimiliki oleh orang-orang yang
memiliki keberhasilan dan keuntungan dalam perdagangan.” (hal.
27)
Saya
suka sekali wasiat ulama Habib Hasan bin Shaleh Al-Bahr di atas.
Membuat hati jadi bersemangat. Kata “himmah” setelah saya
Googling bisa disebut sebagai kemauan yang kuat. Sementara “shidiq”
adalah kejujuran. Kalimat-kalimat tersebut saya kutip dari buku
Ayat-ayat Cinta 2 yang ditulis oleh Habiburrahman El Shirazy atau
populer disebut Kang Abik.
Bagi
pecinta buku dan film tentu sudah tak asing lagi dengan Kang Abik.
Beliau penulis novel-novel best seller yang karyanya banyak
digandrungi pembaca. Novel-novel beliau juga banyak yang diangkat ke
layar lebar. Penghargaan demi penghargaan sastra juga beliau terima,
baik tingkat nasional maupun Asia Tenggara. Salah satu novel beliau
yang paling fenomenal adalah Ayat-ayat Cinta. Novel tersebut terbit
sekitar tahun 2004.
Ternyata
pada akhir 2015 lalu terbitlah novel Ayat-ayat Cinta 2. Saya tak
menyangka novel Ayat-ayat Cinta yang booming
di masa lalu tersebut akan ada sekuelnya. Saya pikir sudah tamat saja
ceritanya.
Karena
rentang waktu dari novel pertama ke novel kedua begitu lama, jujur
saya malas mau beli. Apalagi setelah melihat tingkat ketebalannya
yang menyerupai bantal mini. Saya tetap tidak tertarik meskipun buku
tersebut sudah dengan anggunnya bertengger di rak best seller di toko
buku.
Hingga
akhirnya pada bulan Januari, saya dapat rezeki.. Saya menang lomba
dan salah satu hadiah lomba tersebut adalah buku Ayat-ayat Cinta 2.
Mulailah saya membaca. Ternyata... Saya ketagihan. Saya ketagihan
sampai lupa kalau waktu itu saya lagi dapat musibah. Saya benar-benar
larut dalam kisah Fahri yang sudah tinggal di Inggris, lebih tepatnya
di Edinburgh.
Jadi
novel Ayat-ayat Cita 2 ini pada dasarnya bercerita mengenai sosok
Fahri dalam menghadapi Islamofobia dan kegalauannya menunggu
kepastian kabar tentang Aisha.
Dalam
novel ini, Fahri telah menjadi seorang peneliti sekaligus pengajar di
University of Edinburgh, Inggris. Selain mengajar, Fahri juga
menjalankan bisnis butik dan minimarket di sana. Fahri tinggal di
kawasan perumahan Stoneyhill bersama asistennya, Paman Hulusi.
Kemudian hadir Misbah, sahabatnya, yang ikut menumpang, juga Sabina,
seorang perempuan misterius nan buruk rupa.
Hidup
menjadi kaum minoritas di Inggris memiliki tantangan tersendiri bagi
Fahri. Adalah Keira dan Jason yang merupakan tetangga sebelah rumah
Fahri, namun seringkali bersikap buruk karena Fahri seorang muslim.
Berbagai cacian ditulis di mobil Fahri. Belum lagi tingkah Jason yang
kerap mencuri coklat di minimarket Fahri. Menyikapi sikap buruk
tetangganya, Fahri justru tetap bersikap baik pada mereka. Bahkan
diam-diam Fahri menjadi donatur rahasia bagi Keira, agar Keira tidak
menjual kehormatannya demi sebuah biola. Fahri pun membiayai Keira
hingga perempuan tersebut menjadi juara dalam ajang kompetisi biola.
Adapun Jason, akhirnya Fahri bersahabat dengannya, bahkan Jason
tertarik menjadi seorang muslim.
Selain
intimidasi dari Keira dan Jason, Fahri juga mendapat perlakuan tidak
baik dari Baruch, seorang perwira menengah Israel. Baruch menjuluki
Fahri dengan sebutan Amalek. Amalek versi Baruch adalah siapa saja
yang penghalang bangsa Yahudi, yang membenci, dan yang bermusuhan,
wajib ditumpas.
Lagi-lagi
Fahri tidak terpancing. Malahan saat dipertemukan di acara perdebatan
tentang Amalek bersama Rabi Benyamin dan Baruch, Fahri bisa
menampilkan argumen-argumen dengan tenang dan terperinci.
Meskipun
Fahri mendapatkan intimidasi dari beberapa orang, ia banyak dikagumi
karena akhlak dan keluasan ilmunya. Bahkan banyak pihak yang
mengundang Fahri untuk diajak berdiskusi dan bertanya tentang Islam.
Di
tengah-tengah kesibukannya, Fahri masih sering terkenang akan Aisha.
Seringkali ia bertanya-tanya apakah Aisha masih hidup atau sudah
meninggal. Aisha, menurut kabar terakhir, ditawan oleh tentara Israel
saat pergi ke Palestina. Dalam ketidakpastiannya menunggu Aisha,
Fahri dijodohkan dengan Yasmin, cucu Syaikh Utsman, gurunya sewaktu
di Al Azhar dulu. Fahri sebetulnya belum berminat menikah lagi karena
masih mencintai Aisha. Namun desakan dari Paman Hulusi, termasuk dari
Syaikh Utsman sendiri membuat Fahri tak berkutik. Sayang sekali,
takdir berkata lain. Yasmin menolak dinikahkan dengan Fahri.
Setelah
Yasmin, muncullah gadis lain. Dia adalah adik dari Paman Ozan, paman
Aisha. Namanya Hulya. Hulya ini lumayan mirip dengan Aisha. Hulya
tinggal di Inggris untuk mengambil master di University of Edinburgh.
Meski seringkali berpikir kalau Hulya mirip sekali dengan Aisha,
namun Fahri tidak menaruh hati padanya. Bagi Fahri, posisi Aisha
masih belum tergantikan.
Perempuan
ketiga adalah Sabina. Seorang muslimah berwajah buruk, juga
beridentitas misterius, yang ditolong Fahri setelah pingsan di tempat
umum karena dehidrasi dan gejala typhus. Fahri mengangkat Sabina
sebagai pembantunya untuk sementara. Ia tinggal di lantai bawah
sementara Fahri dan Paman Hulusi tinggal di lantai atas. Sabina
seorang muslimah salehah. Bahkan Fahri pun sempat melamar Sabina
terang-terangan karena kesalehannya.
Bagaimanakah
akhir penantian Fahri? Akankah ia setia menunggu Aisha atau malah
menikah lagi? Akankah Jason menjadi seorang muslim? Apakah pada
akhirnya Keira akan tahu kalau Fahri adalah sang dermawan misterius
yang menolongnya diam-diam? Kalau begitu, silahkan baca novel tebal
tersebut hingga tamat.
Setelah
menuntaskan membaca novel Ayat-ayat Cinta 2 ini, reaksi saya adalah:
bercerita ke teman-teman kalau novel ini bagus. Bahkan saya sampai
posting di Facebook. Beberapa part
yang membuat novel
ini cukup memikat menurut saya antara lain:
1.
Tema
Sebetulnya
temanya sih sudah umum. Tentang cinta. Tentang penantian seseorang
menunggu kabar kepastian istrinya. Subtema-nya yang tidak biasa,
yaitu mengangkat isu tentang Islamofobia. Sebuah masalah yang sangat
jarang diangkat ke dalam sebuah novel.
Pada
novel ini saya jadi belajar pada tokoh Fahri tentang apa yang harus
dilakukan jika ada orang yang sinis terhadap Islam. Meskipun dirinya
disebut macam-macam, Fahri tidak membalas. Bahkan ia memilih bersikap
baik pada pihak-pihak yang tidak suka pada Islam. Bukan cuma bersikap
baik malahan, Fahri diam-diam juga menolong mereka.
Ketika
didapuk jadi pembicara dalam ajang debat dengan golongan Yahudi pun,
Fahri tetap tenang dan terkontrol. Padahal lawan debatnya jelas-jelas
bersikap angkuh dan menyebalkan.
Membaca
buku ini saya pun jadi lebih paham kenapa ada pihak-pihak yang
mengalami Islamofobia. Bahkan Profesor Charlotte yang mengambil studi
tentang Arabic and
Islamic Studies saja
masih ragu untuk menjadi seorang muslim. Padahal ia jelas-jelas
mengagumi Islam.
Dari
buku ini saya lebih paham. Seperti yang disebut oleh Syaikh Muhammad
Abduh pada halaman 388, Islamofobia terjadi karena keindahan Islam
tertutup oleh perilaku buruk umat Islam itu sendiri. Perilaku kaum
muslimin tidak sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Hal inilah yang
memperburuk citra Islam.
2.
Setting yang kuat
Awalnya
saya terheran-heran, kok bisa Kang Abik menjelaskan kehidupan di
Edinburgh begitu rinci dan hidup. Apakah ia pernah ke sana? Setelah
saya baca biografi beliau di halaman akhir, ternyata dugaan saya
benar. Beliau bernah melakukan safari dakwah keliling Inggris.
Membaca
buku ini saya serasa diajak jalan-jalan ke Edinburgh. Saya sampai
terkagum-kagum sendiri membayangkan perumahan tempat tinggal Fahri
yang modelnya seperti lembah namun diisi oleh rumah-rumah yang ditata
begitu rapi. Tanpa ke sana pun saya bisa merasakan kalau Edinburgh
itu sejuk, tidak ada polusi, tertib, dan nyaman. Bahkan setelah membaca buku
ini, saya jadi ikut-ikutan ingin pergi ke Edinburgh.
Mungkin karena settingnya di kota yang cantik di Eropa serta keawaman masyarakat tentang Islam di sana, cerita di novel ini jadi menarik. Dari novel ini saya jadi lumayan bisa membayangkan Edinburgh. Ternyata di sana ada restoran halal. Ada masjid. Bahkan di University of Edinburgh disediakan tempat ibadah. Dan yang paling menarik, ternyata masyarakat di sana tidak seluruhnya merasakan Islamofobia, meskipun ada pula beberapa orang yang mengalami.
3.
Jalan cerita mudah diikuti
Bagi
yang kurang suka membaca, pasti akan was-was melihat ketebalan novel
Ayat-ayat Cinta 2. Tapi jangan khawatir. Novel ini menggunakan alur
maju, sehingga pembaca mudah menikmati. Bahkan mungkin tidak bisa
berhenti membuka lembar demi lembar buku.
Selain
alur, tema tentang percintaan dalam buku ini menarik untuk dinikmati.
Saya sampai bertanya-tanya dan was-was sendiri. Aduh, nanti jadi
tidak ya, sama Yasmin? Apakah Fahri suka sama Hulya? Apakah Fahri
mencintai Keira?
Memang
di mana-mana tema cinta selalu disukai. Bedanya, dalam buku ini yang
ditonjolkan adalah percintaan yang halal.
4.
Bahasa sederhana
Jangan
bayangkan novel setebal 600-an halaman ini bikin
pusing pembaca.
Tidak sama sekali. Bahasa yang digunakan Kang Abik sederhana, mudah
dipahami, bahkan pembaca tak perlu berkerut kening.
Memang
sesekali ada percakapan dalam bahasa Turki, Arab, dan Jerman, tapi
jangan khawatir. Ada footnote
di bagian bawah halaman. Meskipun setting berada di Edinburgh, namun
Fahri jarang menggunakan istilah-istilah Inggris. Cuma ada percakapan
bahasa Inggris dengan Professor Charlotte tapi saya rasa mudah
dimengerti.
5.
Sarat ilmu
Salah
satu ciri khas dari novel Kang Abik adalah memaparkan nasihat agama.
Nah, yang paling saya sukai dari Ayat-ayat Cinta 2 adalah, saya jadi
belajar banyak hal. Saya jadi tahu beberapa poin kenapa Israel
menyerang Palestina. Dari segi ilmu agama pun, saya jadi belajar banyak. Saya
jadi tahu dengan detail tentang hukum mengucapkan salam pada non-muslim. Saya jadi
bertambah pengetahuan tentang apa saja wirid hari Jumat. Saya jadi
belajar tentang kepedulian sosial dan toleransi yang begitu tinggi.
Tentang akhlak. Tentang kesabaran menjadi seorang istri. Dan yang
paling penting adalah tentang tawakal.
Pesan
moral dalam buku ini disampaikan terang-terangan oleh para tokoh,
juga dari guru-guru Fahri selama di Al-Azhar, serta terpancar dari
tingkah laku para tokoh khususnya Fahri. Salah satu pembelajaran yang
membuat saya termenung adalah ucapan Fahri pada halaman 26.
“Saya
tidak muluk-muluk bisa menyampaikan keindahan Islam pada semua orang
di Britania Raya yang salah paham kepada Islam. Tidak, Paman. Saya
tidak muluk-muluk. Cukuplah bahwa saya bisa menyampaikan akhlak Islam
dan kualitas saya sebagai orang Islam kepada orang-orang yang sering
berinteraksi dengan saya, jika saya bisa, itu saya sudah bahagia.”
Sementara
pembelajaran yang dicontohkan Fahri dan menjadi favorit saya adalah
ketika Fahri menolong tetangganya, Nenek Catharina yang seorang
Yahudi. Fahri mengantarnya untuk beribadah. Merawatnya di rumah
sakit. Menyediakan fasilitas untuk Nenek Catharina. Hingga akhirnya
ketika Nenek Catharina hendak wafat, Fahri lah yang beliau
sebut-sebut sang nenek. Fahri pun menyerahkan Nenek Catharina pada komunitas Yahudi untuk dimakamkan
secara Yahudi, sementara biayanya ditanggung Fahri.
Pokoknya
Kang Abik piawai menulis petuah agama berdasarkan rujukan yang
terpercaya. Jadi meskipun nasihat yang ditulis panjang lebar, bahkan
berlembar-lembar, tetap saja mata tak bisa berhenti membaca. Petuah
agama yang dibaca terasa asyik dan tidak membosankan. Mungkin karena
sarat dengan ilmu dan pembelajaran, tak heran novel ini dilabeli
dengan tulisan “Sebuah Novel Pembangun Jiwa” di covernya.
Overall,
bagi saya, novel Ayat-ayat Cinta 2 ini bagus. Memberikan gambaran kalau Islam itu agama yang indah dan penuh kasih sayang. Meski demikian, ada hal
yang menurut saya terasa kurang maksimal, yakni penokohan.
Tokoh
Fahri bagi saya terlalu perfect.
Dia seperti robot, beribadah dan bekerja tak kenal lelah.Di dunia
nyata zaman sekarang, rasanya mustahil ada pria seperti Fahri. Saya
juga tidak melihat Fahri melakukan cela. Dia memiliki kebaikan yang
seolah-olah begitu sempurna dan tanpa salah.
Saya
juga menyayangkan tokoh Sabina yang jadi pengemis. Kalau Sabina bukan
sosok yang paham betul dengan agama, mungkin saya akan maklum. Tapi
Sabina kan muslimah yang pengetahuan agamanya luas. Kenapa pula dia
harus meminta-minta? Bukankah Islam tidak menyukai kegiatan
meminta-minta? Kenapa ia tidak dibuat bekerja di restoran muslim
saja? Atau berjualan?
Saya
juga kurang sreg
sama tokoh Hulya. Terutama saat Hulya menawarkan diri ingin tinggal di rumah
Fahri. Perempuan berjilbab ingin tinggal di rumah laki-laki?
Apa tidak keliru? Mana jauh dari orangtua, baru kenal pula. Saya juga
agak kurang sreg
ketika Hulya mengirim SMS lebih dulu pada Fahri. Rasanya kok aneh ya,
perempuan berjilbab mancing
duluan.
Biasanya
kalau habis baca novel saya terkenang-kenang membayangkan tokoh utama
sampai beberapa hari. Untuk Fahri, saya tidak merasakan sensasi itu.
Karakter Fahri terlalu baik dan kurang hidup. Saya tidak tahu hobi
Fahri apa. Pakaian favoritnya apa. Tindak tanduk dan gerak-gerik
tokoh tidak digambarkan dengan detail.
Percakapan-percakapan
antar tokoh juga garing,
kurang hidup, kurang nyata. Saya beri contoh percakapan pada halaman
325. Momen saat Fahri bertemu Hulya dan Heba.
“Ada
yang bisa saya bantu, Hulya?”
“Alhamdulillah,
semua urusanku sudah beres. Tempat tinggal juga sudah saya dapat,
saya sudah cocok besok tinggal teken kontrak. Terus terang saya ke
sini karena penasaran,” jawab Hulya.
“Penasaran?”
“Iya.”
“Penasaran
apa?”
“Penasaran
dengan orang yang banyak dibicarakan oleh ayah saya dan kakak saya,
Ozan.”
“Penasaran
dengan saya maksudnya?”
“Iya.”
Percakapan
di atas saya bilang kurang hidup, emosinya kurang terasa, karena dalam situasi terkejut pun,
saya tidak tahu reaksi Fahri. Apakah dahinya berkerut dalam. Apakah
matanya melebar. Jadi percakapan antar tokoh saya sebut “flat.”
Mungkin
karena gerak-gerik tokoh kurang disampaikan dengan detail, bagi saya
tokoh-tokoh dalam novel ini kurang hidup. Bahkan dalam novel ini,
saya tidak punya tokoh favorit. Saya tidak bisa memiliki gambaran
seperti apa sosok tokoh-tokoh dalam Ayat-ayat Cinta 2 ini.
Namun
terlepas dari kekurangannya, novel Ayat-ayat Cinta 2 ini tetaplah
memukau. Buktinya saya asyik membaca sampai lupa waktu, sampai tak
terasa duduk berlama-lama. Novel ini recommended karena pasca baca novel ini saya jadi upgrade ilmu. Melalui novel ini pula Kang Abik membuktikan
meskipun Ayat-ayat Cinta sudah melampaui rentang 10 tahunan, namun
kisah tentang sosok Fahri masih menarik untuk dinikmati.
Pembelajaran
yang paling melekat pada saya pasca membaca buku ini adalah tentang
tawakal. Di awal bab, tiada henti Fahri berdzikir “Laa
haula wa laa quwwata illaa billah.” Ketawakalan
pada akhirnya Fahri membuahkan hasil. Hal ini sesuai dengan janji
Allah, “Dan barang siapa yang bertawakal, Allah akan mencukupkan
keperluannya.” (Ath-Thalaq:3).
Sebagai
informasi, ketika pertama kali rilis, novel Ayat-ayat Cinta 2 sudah
terjual 10 ribu eksemplar selama 4 hari. Bahkan dalam 2 bulan, lebih
tepatnya hingga Desember 2015 lalu, novel ini sudah memasuki cetakan
ke -7. Novel Ayat-ayat Cinta 2 juga berada di jajaran rak best
seller. Dan menurut kabar, novel tersebut juga sudah dilirik untuk
diangkat ke layar lebar.
Nah,
bagi teman-teman yang penasaran, semoga resensi saya bisa membantu.
Judul:
Ayat-ayat Cinta 2
Penulis:
Habiburrahman El Shirazy
Penerbit:
Republika
Tebal:
vi + 698 halaman
Terbit:
November 2015