Sunday, 21 February 2016

RESENSI NOVEL AYAT-AYAT CINTA 2: KETIKA PENANTIAN PANJANG DAN INTIMIDASI MENGUJI KEIMANAN

Novel Ayat-ayat Cinta 2



Ketahuilah, himmah adalah wadah taufik. Kendarailah kuda himmah, niscaya kamu akan mencapai puncak cita-citamu. Mintalah pertolongan Allah dalam setiap langkahmu, maju maupun mundur. Niscaya tidak akan sia-sia jerih payahmu dan akan tercapai cita-citamu. Lazimkan sikap shidiq dan ikhlas, karena keduanya harus dimiliki oleh orang-orang yang memiliki keberhasilan dan keuntungan dalam perdagangan.” (hal. 27)


Saya suka sekali wasiat ulama Habib Hasan bin Shaleh Al-Bahr di atas. Membuat hati jadi bersemangat. Kata “himmah” setelah saya Googling bisa disebut sebagai kemauan yang kuat. Sementara “shidiq” adalah kejujuran. Kalimat-kalimat tersebut saya kutip dari buku Ayat-ayat Cinta 2 yang ditulis oleh Habiburrahman El Shirazy atau populer disebut Kang Abik. 
 

Bagi pecinta buku dan film tentu sudah tak asing lagi dengan Kang Abik. Beliau penulis novel-novel best seller yang karyanya banyak digandrungi pembaca. Novel-novel beliau juga banyak yang diangkat ke layar lebar. Penghargaan demi penghargaan sastra juga beliau terima, baik tingkat nasional maupun Asia Tenggara. Salah satu novel beliau yang paling fenomenal adalah Ayat-ayat Cinta. Novel tersebut terbit sekitar tahun 2004.


Ternyata pada akhir 2015 lalu terbitlah novel Ayat-ayat Cinta 2. Saya tak menyangka novel Ayat-ayat Cinta yang booming di masa lalu tersebut akan ada sekuelnya. Saya pikir sudah tamat saja ceritanya. 
 

Karena rentang waktu dari novel pertama ke novel kedua begitu lama, jujur saya malas mau beli. Apalagi setelah melihat tingkat ketebalannya yang menyerupai bantal mini. Saya tetap tidak tertarik meskipun buku tersebut sudah dengan anggunnya bertengger di rak best seller di toko buku.


Hingga akhirnya pada bulan Januari, saya dapat rezeki.. Saya menang lomba dan salah satu hadiah lomba tersebut adalah buku Ayat-ayat Cinta 2. Mulailah saya membaca. Ternyata... Saya ketagihan. Saya ketagihan sampai lupa kalau waktu itu saya lagi dapat musibah. Saya benar-benar larut dalam kisah Fahri yang sudah tinggal di Inggris, lebih tepatnya di Edinburgh. 
 

Jadi novel Ayat-ayat Cita 2 ini pada dasarnya bercerita mengenai sosok Fahri dalam menghadapi Islamofobia dan kegalauannya menunggu kepastian kabar tentang Aisha. 
 

Dalam novel ini, Fahri telah menjadi seorang peneliti sekaligus pengajar di University of Edinburgh, Inggris. Selain mengajar, Fahri juga menjalankan bisnis butik dan minimarket di sana. Fahri tinggal di kawasan perumahan Stoneyhill bersama asistennya, Paman Hulusi. Kemudian hadir Misbah, sahabatnya, yang ikut menumpang, juga Sabina, seorang perempuan misterius nan buruk rupa. 
 

Hidup menjadi kaum minoritas di Inggris memiliki tantangan tersendiri bagi Fahri. Adalah Keira dan Jason yang merupakan tetangga sebelah rumah Fahri, namun seringkali bersikap buruk karena Fahri seorang muslim. Berbagai cacian ditulis di mobil Fahri. Belum lagi tingkah Jason yang kerap mencuri coklat di minimarket Fahri. Menyikapi sikap buruk tetangganya, Fahri justru tetap bersikap baik pada mereka. Bahkan diam-diam Fahri menjadi donatur rahasia bagi Keira, agar Keira tidak menjual kehormatannya demi sebuah biola. Fahri pun membiayai Keira hingga perempuan tersebut menjadi juara dalam ajang kompetisi biola. Adapun Jason, akhirnya Fahri bersahabat dengannya, bahkan Jason tertarik menjadi seorang muslim.


Selain intimidasi dari Keira dan Jason, Fahri juga mendapat perlakuan tidak baik dari Baruch, seorang perwira menengah Israel. Baruch menjuluki Fahri dengan sebutan Amalek. Amalek versi Baruch adalah siapa saja yang penghalang bangsa Yahudi, yang membenci, dan yang bermusuhan, wajib ditumpas.


Lagi-lagi Fahri tidak terpancing. Malahan saat dipertemukan di acara perdebatan tentang Amalek bersama Rabi Benyamin dan Baruch, Fahri bisa menampilkan argumen-argumen dengan tenang dan terperinci. 
 

Meskipun Fahri mendapatkan intimidasi dari beberapa orang, ia banyak dikagumi karena akhlak dan keluasan ilmunya. Bahkan banyak pihak yang mengundang Fahri untuk diajak berdiskusi dan bertanya tentang Islam.


Di tengah-tengah kesibukannya, Fahri masih sering terkenang akan Aisha. Seringkali ia bertanya-tanya apakah Aisha masih hidup atau sudah meninggal. Aisha, menurut kabar terakhir, ditawan oleh tentara Israel saat pergi ke Palestina. Dalam ketidakpastiannya menunggu Aisha, Fahri dijodohkan dengan Yasmin, cucu Syaikh Utsman, gurunya sewaktu di Al Azhar dulu. Fahri sebetulnya belum berminat menikah lagi karena masih mencintai Aisha. Namun desakan dari Paman Hulusi, termasuk dari Syaikh Utsman sendiri membuat Fahri tak berkutik. Sayang sekali, takdir berkata lain. Yasmin menolak dinikahkan dengan Fahri.


Setelah Yasmin, muncullah gadis lain. Dia adalah adik dari Paman Ozan, paman Aisha. Namanya Hulya. Hulya ini lumayan mirip dengan Aisha. Hulya tinggal di Inggris untuk mengambil master di University of Edinburgh. Meski seringkali berpikir kalau Hulya mirip sekali dengan Aisha, namun Fahri tidak menaruh hati padanya. Bagi Fahri, posisi Aisha masih belum tergantikan.


Perempuan ketiga adalah Sabina. Seorang muslimah berwajah buruk, juga beridentitas misterius, yang ditolong Fahri setelah pingsan di tempat umum karena dehidrasi dan gejala typhus. Fahri mengangkat Sabina sebagai pembantunya untuk sementara. Ia tinggal di lantai bawah sementara Fahri dan Paman Hulusi tinggal di lantai atas. Sabina seorang muslimah salehah. Bahkan Fahri pun sempat melamar Sabina terang-terangan karena kesalehannya.


Bagaimanakah akhir penantian Fahri? Akankah ia setia menunggu Aisha atau malah menikah lagi? Akankah Jason menjadi seorang muslim? Apakah pada akhirnya Keira akan tahu kalau Fahri adalah sang dermawan misterius yang menolongnya diam-diam? Kalau begitu, silahkan baca novel tebal tersebut hingga tamat.


Setelah menuntaskan membaca novel Ayat-ayat Cinta 2 ini, reaksi saya adalah: bercerita ke teman-teman kalau novel ini bagus. Bahkan saya sampai posting di Facebook. Beberapa part yang membuat novel ini cukup memikat menurut saya antara lain:


1. Tema

Sebetulnya temanya sih sudah umum. Tentang cinta. Tentang penantian seseorang menunggu kabar kepastian istrinya. Subtema-nya yang tidak biasa, yaitu mengangkat isu tentang Islamofobia. Sebuah masalah yang sangat jarang diangkat ke dalam sebuah novel. 
 

Pada novel ini saya jadi belajar pada tokoh Fahri tentang apa yang harus dilakukan jika ada orang yang sinis terhadap Islam. Meskipun dirinya disebut macam-macam, Fahri tidak membalas. Bahkan ia memilih bersikap baik pada pihak-pihak yang tidak suka pada Islam. Bukan cuma bersikap baik malahan, Fahri diam-diam juga menolong mereka.


Ketika didapuk jadi pembicara dalam ajang debat dengan golongan Yahudi pun, Fahri tetap tenang dan terkontrol. Padahal lawan debatnya jelas-jelas bersikap angkuh dan menyebalkan. 
 

Membaca buku ini saya pun jadi lebih paham kenapa ada pihak-pihak yang mengalami Islamofobia. Bahkan Profesor Charlotte yang mengambil studi tentang Arabic and Islamic Studies saja masih ragu untuk menjadi seorang muslim. Padahal ia jelas-jelas mengagumi Islam.


Dari buku ini saya lebih paham. Seperti yang disebut oleh Syaikh Muhammad Abduh pada halaman 388, Islamofobia terjadi karena keindahan Islam tertutup oleh perilaku buruk umat Islam itu sendiri. Perilaku kaum muslimin tidak sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Hal inilah yang memperburuk citra Islam.



2. Setting yang kuat

Awalnya saya terheran-heran, kok bisa Kang Abik menjelaskan kehidupan di Edinburgh begitu rinci dan hidup. Apakah ia pernah ke sana? Setelah saya baca biografi beliau di halaman akhir, ternyata dugaan saya benar. Beliau bernah melakukan safari dakwah keliling Inggris.


Membaca buku ini saya serasa diajak jalan-jalan ke Edinburgh. Saya sampai terkagum-kagum sendiri membayangkan perumahan tempat tinggal Fahri yang modelnya seperti lembah namun diisi oleh rumah-rumah yang ditata begitu rapi. Tanpa ke sana pun saya bisa merasakan kalau Edinburgh itu sejuk, tidak ada polusi, tertib, dan nyaman. Bahkan setelah membaca buku ini, saya jadi ikut-ikutan ingin pergi ke Edinburgh.


Mungkin karena settingnya di kota yang cantik di Eropa serta keawaman masyarakat tentang Islam di sana, cerita di novel ini jadi menarik. Dari novel ini saya jadi lumayan bisa membayangkan Edinburgh. Ternyata di sana ada restoran halal. Ada masjid. Bahkan di University of Edinburgh disediakan tempat ibadah. Dan yang paling menarik, ternyata masyarakat di sana tidak seluruhnya merasakan Islamofobia, meskipun ada pula beberapa orang yang mengalami.



3. Jalan cerita mudah diikuti

Bagi yang kurang suka membaca, pasti akan was-was melihat ketebalan novel Ayat-ayat Cinta 2. Tapi jangan khawatir. Novel ini menggunakan alur maju, sehingga pembaca mudah menikmati. Bahkan mungkin tidak bisa berhenti membuka lembar demi lembar buku. 
 

Selain alur, tema tentang percintaan dalam buku ini menarik untuk dinikmati. Saya sampai bertanya-tanya dan was-was sendiri. Aduh, nanti jadi tidak ya, sama Yasmin? Apakah Fahri suka sama Hulya? Apakah Fahri mencintai Keira? 
 

Memang di mana-mana tema cinta selalu disukai. Bedanya, dalam buku ini yang ditonjolkan adalah percintaan yang halal.



4. Bahasa sederhana

Jangan bayangkan novel setebal 600-an halaman ini bikin pusing pembaca. Tidak sama sekali. Bahasa yang digunakan Kang Abik sederhana, mudah dipahami, bahkan pembaca tak perlu berkerut kening. 
 

Memang sesekali ada percakapan dalam bahasa Turki, Arab, dan Jerman, tapi jangan khawatir. Ada footnote di bagian bawah halaman. Meskipun setting berada di Edinburgh, namun Fahri jarang menggunakan istilah-istilah Inggris. Cuma ada percakapan bahasa Inggris dengan Professor Charlotte tapi saya rasa mudah dimengerti.



5. Sarat ilmu

Salah satu ciri khas dari novel Kang Abik adalah memaparkan nasihat agama. Nah, yang paling saya sukai dari Ayat-ayat Cinta 2 adalah, saya jadi belajar banyak hal. Saya jadi tahu beberapa poin kenapa Israel menyerang Palestina. Dari segi ilmu agama pun, saya jadi belajar banyak. Saya jadi tahu dengan detail tentang hukum mengucapkan salam pada non-muslim. Saya jadi bertambah pengetahuan tentang apa saja wirid hari Jumat. Saya jadi belajar tentang kepedulian sosial dan toleransi yang begitu tinggi. Tentang akhlak. Tentang kesabaran menjadi seorang istri. Dan yang paling penting adalah tentang tawakal. 
 

Pesan moral dalam buku ini disampaikan terang-terangan oleh para tokoh, juga dari guru-guru Fahri selama di Al-Azhar, serta terpancar dari tingkah laku para tokoh khususnya Fahri. Salah satu pembelajaran yang membuat saya termenung adalah ucapan Fahri pada halaman 26.

Saya tidak muluk-muluk bisa menyampaikan keindahan Islam pada semua orang di Britania Raya yang salah paham kepada Islam. Tidak, Paman. Saya tidak muluk-muluk. Cukuplah bahwa saya bisa menyampaikan akhlak Islam dan kualitas saya sebagai orang Islam kepada orang-orang yang sering berinteraksi dengan saya, jika saya bisa, itu saya sudah bahagia.”


Sementara pembelajaran yang dicontohkan Fahri dan menjadi favorit saya adalah ketika Fahri menolong tetangganya, Nenek Catharina yang seorang Yahudi. Fahri mengantarnya untuk beribadah. Merawatnya di rumah sakit. Menyediakan fasilitas untuk Nenek Catharina. Hingga akhirnya ketika Nenek Catharina hendak wafat, Fahri lah yang beliau sebut-sebut sang nenek. Fahri pun menyerahkan Nenek Catharina pada komunitas Yahudi untuk dimakamkan secara Yahudi, sementara biayanya ditanggung Fahri.


Pokoknya Kang Abik piawai menulis petuah agama berdasarkan rujukan yang terpercaya. Jadi meskipun nasihat yang ditulis panjang lebar, bahkan berlembar-lembar, tetap saja mata tak bisa berhenti membaca. Petuah agama yang dibaca terasa asyik dan tidak membosankan. Mungkin karena sarat dengan ilmu dan pembelajaran, tak heran novel ini dilabeli dengan tulisan “Sebuah Novel Pembangun Jiwa” di covernya. 
 

Overall, bagi saya, novel Ayat-ayat Cinta 2 ini bagus. Memberikan gambaran kalau Islam itu agama yang indah dan penuh kasih sayang. Meski demikian, ada hal yang menurut saya terasa kurang maksimal, yakni penokohan. 
 

Tokoh Fahri bagi saya terlalu perfect. Dia seperti robot, beribadah dan bekerja tak kenal lelah.Di dunia nyata zaman sekarang, rasanya mustahil ada pria seperti Fahri. Saya juga tidak melihat Fahri melakukan cela. Dia memiliki kebaikan yang seolah-olah begitu sempurna dan tanpa salah.
 

Saya juga menyayangkan tokoh Sabina yang jadi pengemis. Kalau Sabina bukan sosok yang paham betul dengan agama, mungkin saya akan maklum. Tapi Sabina kan muslimah yang pengetahuan agamanya luas. Kenapa pula dia harus meminta-minta? Bukankah Islam tidak menyukai kegiatan meminta-minta? Kenapa ia tidak dibuat bekerja di restoran muslim saja? Atau berjualan? 
 

Saya juga kurang sreg sama tokoh Hulya. Terutama saat Hulya menawarkan diri ingin tinggal di rumah Fahri. Perempuan berjilbab ingin tinggal di rumah laki-laki? Apa tidak keliru? Mana jauh dari orangtua, baru kenal pula. Saya juga agak kurang sreg ketika Hulya mengirim SMS lebih dulu pada Fahri. Rasanya kok aneh ya, perempuan berjilbab mancing duluan.


Biasanya kalau habis baca novel saya terkenang-kenang membayangkan tokoh utama sampai beberapa hari. Untuk Fahri, saya tidak merasakan sensasi itu. Karakter Fahri terlalu baik dan kurang hidup. Saya tidak tahu hobi Fahri apa. Pakaian favoritnya apa. Tindak tanduk dan gerak-gerik tokoh tidak digambarkan dengan detail. 
 

Percakapan-percakapan antar tokoh juga garing, kurang hidup, kurang nyata. Saya beri contoh percakapan pada halaman 325. Momen saat Fahri bertemu Hulya dan Heba.


Ada yang bisa saya bantu, Hulya?”

Alhamdulillah, semua urusanku sudah beres. Tempat tinggal juga sudah saya dapat, saya sudah cocok besok tinggal teken kontrak. Terus terang saya ke sini karena penasaran,” jawab Hulya.

Penasaran?”

Iya.”

Penasaran apa?”

Penasaran dengan orang yang banyak dibicarakan oleh ayah saya dan kakak saya, Ozan.”

Penasaran dengan saya maksudnya?”

Iya.”


Percakapan di atas saya bilang kurang hidup, emosinya kurang terasa, karena dalam situasi terkejut pun, saya tidak tahu reaksi Fahri. Apakah dahinya berkerut dalam. Apakah matanya melebar. Jadi percakapan antar tokoh saya sebut “flat.” 
 

Mungkin karena gerak-gerik tokoh kurang disampaikan dengan detail, bagi saya tokoh-tokoh dalam novel ini kurang hidup. Bahkan dalam novel ini, saya tidak punya tokoh favorit. Saya tidak bisa memiliki gambaran seperti apa sosok tokoh-tokoh dalam Ayat-ayat Cinta 2 ini. 
 

Namun terlepas dari kekurangannya, novel Ayat-ayat Cinta 2 ini tetaplah memukau. Buktinya saya asyik membaca sampai lupa waktu, sampai tak terasa duduk berlama-lama. Novel ini recommended karena pasca baca novel ini saya jadi upgrade ilmu. Melalui novel ini pula Kang Abik membuktikan meskipun Ayat-ayat Cinta sudah melampaui rentang 10 tahunan, namun kisah tentang sosok Fahri masih menarik untuk dinikmati.


Pembelajaran yang paling melekat pada saya pasca membaca buku ini adalah tentang tawakal. Di awal bab, tiada henti Fahri berdzikir “Laa haula wa laa quwwata illaa billah.” Ketawakalan pada akhirnya Fahri membuahkan hasil. Hal ini sesuai dengan janji Allah, “Dan barang siapa yang bertawakal, Allah akan mencukupkan keperluannya.” (Ath-Thalaq:3).


Sebagai informasi, ketika pertama kali rilis, novel Ayat-ayat Cinta 2 sudah terjual 10 ribu eksemplar selama 4 hari. Bahkan dalam 2 bulan, lebih tepatnya hingga Desember 2015 lalu, novel ini sudah memasuki cetakan ke -7. Novel Ayat-ayat Cinta 2 juga berada di jajaran rak best seller. Dan menurut kabar, novel tersebut juga sudah dilirik untuk diangkat ke layar lebar.


Nah, bagi teman-teman yang penasaran, semoga resensi saya bisa membantu.


Judul: Ayat-ayat Cinta 2

Penulis: Habiburrahman El Shirazy

Penerbit: Republika

Tebal: vi + 698 halaman

Terbit: November 2015


JAGA KECANTIKAN DIRI, JAGA LINGKUNGAN

Jerawatan? Wajah kusam? Itu adalah masalah kulit saya sejak SMA. Kalau cuma kusam masih lumayan lah. Yang membuat tidak percaya diri adalah ...