“Aku tahu, kau tetap
penasaran tentang banyak hal, karena kau dibesarkan dengan rasionalitas. Tapi
saat kau tiba pada titik itu, maka kau akan mengerti dengan sendirinya. Itu
perjalanan yang tidak mudah, Bujang. Kau harus mengalahkan banyak hal. Bukan
musuh-musuhmu, tapi diri sendiri, menaklukkan monster yang ada di dirimu.
Sejatinya, dalam hidup ini, kita tidak pernah berusaha mengalahkan orang lain,
dan itu sama sekali tidak perlu. Kita cukup mengalahkan diri sendiri. Egoisme.
Ketidakpedulian. Ambisi. Rasa takut. Pertanyaan. Keraguan. Sekali kau bisa
menang dalam pertempuran itu, maka pertempuran lainnya akan mudah saja.
“Aku tidak bisa
melatihmu, Bujang. Tidak bisa menjawab pertanyaanmu. Sekarang saatnya kau
melatih diri sendiri dan menemukan jawaban dari dirimu sendiri. Hanya seorang
samurai sejati yang tiba pada titik itu. Di titik ketika kau seolah bisa keluar
dari tubuh sendiri, berdiri, menatap refleksi dirimu seperti sedang menatap
cermin. Kau seperti bisa menyentuhnya, tersenyum takzim, menyaksikan betapa
jernihnya kehidupan. Saat itu terjadi, kau telah pulang, Bujang. Pulang pada
hakikat kehidupan. Pulang, memeluk erat semua kesedihan dan kegembiraan.” (hal.
219).
Siapa yang tak kenal Tere
Liye? Novelis yang satu ini bukan cuma produktif, tapi tulisannya sangat
inspiratif. Tak heran fans page-nya di Facebook di-like sejutaan orang.
Postingannya tak pernah bosan di-share pengguna Facebook, dilike ratusan
orang. Novelnya pun terus bermunculan dan hebatnya lagi, semua novel-novel
beliau tak pernah absen berada di rak best seller.
Pada bulan September 2015
lalu, novelnya yang berjudul “Pulang” terbit. Jujur, saya sempat kecele.
Sengaja saya tidak segera membeli novel tersebut karena saya pikir novel Pulang
sama saja dengan novel-novel Tere sebelumnya. Mengingat nukilan yang diposting
di Facebook beliau seperti di bawah ini:
 |
Foto diambil dari Fans Page Tere Liye |
Seminggu yang lalu
akhirnya saya “terpaksa” beli novel Pulang karena sejak pertama kali dirilis,
novel ini masih saja nangkring gagah di rak best seller. Dan ketika saya mulai
membaca, dugaan saya melenceng 180 derajat. Novel Pulang bukan novel kalem
seperti Rindu, apalagi Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah.
Novel Pulang berkisah
tentang sesuatu yang baru yakni intrik yang terjadi dalam dunia “Shadow Economy” alias Ekonomi
Bayangan. Shadow economy adalah jaringan bisnis yang berada di bawah bayangan,
tidak terekspos oleh media manapun, masyarakat, bahkan pemerintah, namun nilai
transaksinya mencapai ratusan milyar dolar Amerika. Shadow economy dikendalikan
oleh jaringan organisasi raksasa yang tersebar di berbagai negara.
Adalah seorang anak yang biasa dipanggil
Bujang, berusia 15 tahun, harus ikut berburu babi hutan bersama seorang Tauke
Muda. Di hutan, Bujang bertarung melawan babi hutan raksasa dan berhasil
menyelamatkan Tauke Muda. Sepulang berburu, Tauke Muda meminta Bujang untuk
tinggal bersamanya di kota. Tauke Muda yang berubah menjadi Tauke Besar
nantinya, adalah pemimpin Keluarga Tong. Keluarga Tong adalah salah satu
pengendali Shadow Economy yang ada di Sumatera, dan nantinya bisnis Keluarga
Tong bakal menguasai ibukota.
Bujang ingin sekali ikut
Tauke Muda. Ia ingin pergi karena benci pada bapaknya, Samad, yang suka
marah-marah kalau mamaknya mengajari agama. Bujang tak ingin melihat
orangtuanya bertengkar, tak ingin melihat mamaknya menangis.
Tauke Besar mendidik
bujang berlari, berkelahi, menembak, menggunakan samurai, dan bersekolah.
Bahkan Bujang disekolahkan hingga ke Amerika Serikat. Bujang tumbuh menjadi
anak angkat kesayangan Tauke Besar, sekaligus tukang pukul yang intelek.
Perjalanan karir Bujang menjadi tukang pukul andalan
keluarga Tong selama bertahun-tahun, diiringi berbagai macam konflik.
Pertarungan demi pertarungan hebat dihadapi Bujang. Latihan demi latihan
dijalani Bujang. Ia tumbuh menjadi petarung hebat tanpa memiliki rasa takut. Ia
dikenal julukan sebagai Si Babi Hutan. Siapapun akan gentar mendengar namanya. Meski
demikian, terkadang ia mengalami konflik batin yang seringkali membuat Bujang
kadang menangis tanpa suara. Tentang kebenciannya pada sang bapak, juga kerinduannya
pada sang mamak.
Rasa takut kembali hadir
dalam hati Bujang ketika satu demi satu orang-orang yang ia sayangi meninggal.
Dimulai dari sang Mamak, Bapak, lalu Kopong yang selalu menghibur dirinya,
bahkan kematian orangtua angkatnya. Belum lagi Bujang harus menerima kenyataan
bahwa Keluarga Tong telah runtuh akibat pengkhianatan.
Dengan semua konflik yang
dihadapi, akankah Bujang berhasil merebut kembali kejayaan keluarga Tong?
Akankah hati Bujang kembali seperti dulu, atau mungkin rasa benci serta takut
masih bersemayam dalam hatinya? Jawaban tersebut ada pada novel
ini.
Setelah saya menamatkan
novel Pulang, reaksi saya adalah: terkagum-kagum lalu posting di status BBM
kalau novel ini KEREN! Saya memutuskan untuk menulis resensinya karena memang
novel ini menakjubkan.
Saya sampai menulis status
di BBM beberapa kali. Saking kerennya novel ini, bahkan makan pun saya baca.
Suatu momen yang jarang saya lakukan ketika membaca novel lokal. Saya berusaha
menahan diri untuk tidak post di Facebook kalau novel ini hebat. Karena saya
harus menulis dulu, beberapa poin yang
membuat novel ini begitu hard to put down bagi saya.
Mari saya jabarkan
beberapa hal yang membuat novel ini begitu memikat.
1. COVER
Sebetulnya cover novel
bagi saya selaku pecinta buku, tidak terlalu berpengaruh. Tapi, saya suka
bertanya-tanya kalau melihat foto novel Pulang di internet. Saya suka membatin
begini, “Itu sampulnya kayak sobek, itu kertasnya dua lapis dan sobek betulan
atau bagaimana?”
Mulai dari cover saja,
novel ini sudah mengulik tanda tanya. Meskipun ada hal yang kurang sreg bagi
saya, yang nanti akan saya jelaskan.
2. DESKRIPSI YANG DETAIL
Saya duga, pastilah Tere
Liye ini melakukan riset yang mendalam. Kisah tentang intrik dalam keluarga
pengendali Shadow Economy begitu hidup, membuat saya larut dalam dunia baru,
yakni dunia underground tersebut. Semua terasa nyata bagaimana antar keluarga
di beberapa negara begitu licik memperebutkan sesuatu. Bagaimana mereka
menguasai bisnis begitu rapi. Bagaimana mereka menyumpal wartawan dan pihak-pihak
terkait sehingga berita yang tayang di televisi tidak terlalu menghebohkan.
Deskripsi setting pun
demikian. Setiap tempat yang disinggahi yakni Filipina, Hongkong, Jakarta, dan
bukit Barisan juga terjabar detail namun
wajar. Detail yang tidak berlebihan sehingga pembaca tidak bosan. Detail
tentang setting juga membuat saya sampai bertanya-tanya sendiri. Mungkin Tere
Liye pernah ke Hongkong. Tere menggambarkan Hongkong dengan natural, seakan
pembaca turut mengekori Bujang jalan-jalan di Hongkong. Bahkan saya yang tak
pernah menapak pun menatap tempat bernama Lan Kwai Fong jadi punya gambaran
sendiri di dalam kepala, seperti apa wujud sentral kuliner terkenal di Hongkong
tersebut.
Deskripsi yang asyik
sehingga novel ini bagi saya terasa seperti menonton film adalah ketika Bujang
mulai beraksi. Bagaimana tubuhnya menghindar, bagaimana ia menggerakkan pedang,
bagaimana tinjunya mengenai perut lawan, semua detail pertempuran terasa nyata.
Saya sampai menahan napas ketika adegan pertarungan dimulai. Keren sekali!
3. TOKOH YANG HIDUP
Nah, yang paling bikin
saya takjub lagi adalah tokoh. Tokoh biasanya digambarkan detail mulai dari
rambut, hobi, tinggi badan, warna kesukaan, baju favorit, cantik apa tampan,
model rambut, dan ciri fisik lainnya. Namun Bujang, sang tokoh sentral, tidak
digambarkan over-detail seperti itu. Ciri fisik Bujang yang saya ingat adalah
tinggi dan bermata tajam. Tinggi saja tanpa berat badan tanpa ukuran tinggi
badan dalam sentimeter. Ajaibnya, saya bisa membayangkan sosok Bujang seperti
apa. Bujang hidup dalam kepala saya.
Ini menarik. Saya jadi
ingat Sophie Kinsella ketika dulu ditanya, kenapa dia tidak menggambarkan tokoh
Becky Bloomwood dengan detail. Jawaban Sophie adalah: biarkan pembaca yang
membayangkan. Mungkin Tere Liye juga berpendapat demikian. Mungkin pula bagi
Tere, perihal ganteng, kulit putih, dagu tegas, bukan hal signifikan karena
novel Pulang bukan novel romance. Melainkan novel action yang banyak
menampilkan adegan pertempuran.
Salah satu ciri khas novel
Tere Liye lainnya adalah hadirnya seorang guru yang suka memberikan petuah
bijak. Jika dalam novel Rindu ada sosok gurutta, pada novel pulang ada Guru
Bushi dan Tuanku Imam. Merekalah yang memegang peran untuk memberikan nasihat
pada Bujang, tokoh utama.
Tokoh antagonis yang
super-menyebalkan di sini adalah Basyir. Sahabat Bujang sekaligus orang
kepercayaan Tauke Besar yang ternyata seorang pengkhianat.
Tak lupa pula Tere
menampilkan tokoh-tokoh pembantu seperti Kopong, Mansur, White, si kembar Kiko
dan Yuki, Parwez, dan Frans. Semua tokoh punya andil sehingga jalan cerita
terasa sangat menarik.
Tokoh favorit saya adalah
Bujang, tentu saja. Dia pendiam, dingin, pantang menyerah, cerdas, namun
berhati lembut. Dan tokoh yang paling saya benci adalah Basyir. Manis sekali
tingkahnya, banyak bicara, sok sopan, tapi menikam dari belakang. Saya tebak
Tere Liye menciptakan sosok Basyir karena terinspirasi dari karakter manusia
dari dunia nyata.
4. CERITA YANG MENGIKAT
PEMBACA
Novel ini menurut saya
tergolong novel yang fast-paced. Novel tipe fast-paced biasanya novel yang
jalan ceritanya bergerak cepat, sehingga pembaca terpatri untuk terus membaca
karena penasaran. Novel bertipe fast-paced biasanya novel yang penuh aksi
seperti Trilogi The Hunger Games, buku-buku Dan Brown, Harry Potter series, Eragon
series, dan lain-lain. Teknik ini memang tidak membuat pembaca bosan, malah
betah membaca. Bahkan nyaris susah berhenti, saking asyiknya.
Novel Pulang juga
demikian. Saya beli selasa malam, dalam
kondisi capek, hari rabu sudah tamat. Tensi cerita ada pada tiap bab terasa
menegangkan dan membuat saya berpikir, “apa yang akan terjadi berikutnya?”.
Mulai dari bab pertama saja pembaca sudah disuguhkan oleh sebuah pertempuran
melawan babi hutan raksasa.
Ketegangan semakin
meningkat ketika Bujang pergi ke Hongkong (halaman 67), karena di sana ia harus
bertemu pimpinan Shadow Economy wilayah Cina, yakni Master Dragon. Pertemuan
tersebut bukan jenis pertemuan leha-leha atau santai. Bagaimana mungkin bisa
santai kalau tokoh utama berhadapan dengan Master Dragon yang ditakuti. Saya sampai takut kalau Bujang akan dikeroyok habis-habisan.
Meski begitu, bukan
berarti novel ini bercerita tentang pertempuran melulu. Menggunakan alur
maju-mundur, novel ini terasa manis sekaligus mengaduk emosi ketika kisah Bujang
dilemparkan ke masa lalu. Mata saya menghangat pada halaman 191. Saat itu
Bujang habis berpesta, tak dinyana tak lama kemudian Bujang menerima surat dari
sang bapak. Surat tersebut mengabarkan kalau mamak Bujang telah meninggal. Ah,
pada bagian ini saya ikut merasakan kesedihan Bujang. Bagi saya, momen masa lalu Bujang berhasil membuat cerita pada novel ini jadi seimbang.
5. AKSI YANG KEREN
Ini benar. Membaca novel
ini bagaikan menonton film James Bond atau Mission Impossible, atau membaca
novel thriller Dan Brown. Bukan cuma pertempurannya yang memikat dan berkelas,
tapi juga kecanggihan peralatannya. Contohnya di rumah keluarga Tong.
Dinding-dinding dirancang dengan tambahan bom yang bisa meledak jika
keselamatan Tauke Besar terancam.
Ada kartu nama yang
dilapisi titanium dan berguna sebagai senjata. Ada pesawat jet pribadi. Ada
ranjang yang bisa ambrol dan meluncur ke lowong bawang tanah untuk menyelamatkan
diri. Belum lagi membaca cara Bujang bernegosiasi. Berkelas sekali. Dia mirip
seorang agen yang bisa menemukan solusi dalam setiap situasi genting.
Saya juga takjub ketika
tokoh Yuki dan Kiko mulai beraksi. Mereka gadis-gadis centil yang suka menyamar sebagai
turis sekaligus ninja. Gerakannya cepat kalau bertarung. Ketika di Hongkong,
mereka ikut bertempur menembaki lawan dengan menggunakan gaun. Cool sekali
kan?
Membaca aksi-aksi “wow”
dalam novel ini, saya jadi berkhayal, seandainya novel Pulang diterbitkan dalam
bahasa Inggris. Terus diterbitkan di luar negeri, lalu difilmkan oleh
Hollywood. Toh ceritanya tak akan kalah dengan karya penulis luar negeri. Tak
kalah dengan novel-novel yang menyandang predikat “The New York Times Best Seller.” Serius!
6. PESAN MORAL
Salah satu ciri khas Tere
Liye adalah, ia kerap menebarkan nasihat-nasihat dalam novelnya. Sepertinya
Tere sadar, bahwa manusia di masa kini sangat keranjingan petuah bijak. Biasanya
nasihat-nasihat tersebut diucapkan oleh sosok guru, atau sosok yang lebih tua
daripada tokoh utama. Pada novel Pulang, guru Bushi dan Tuanku Imam adalah tokoh
yang kerap memberikan nasihat. Nasihat tanpa menggurui.
Nasihat Guru Bushi sudah
saya tulis pada pembuka resensi. Sementara salah satu nasihat dari Tuanku Imam
adalah sebagai berikut.
“Tapi sungguh,
jangan dilawan semua hari-hari menyakitkan itu, Nak. Jangan pernah kau lawan.
Karena kau pasti kalah. Mau semuak apa pun kau dengan hari-hari itu, matahari
akan tetap terbit indah seperti yang kita lihat sekarang. Mau sejijik apa pun
kau dengan hari-hari itu, matahari akan tetap memenuhi janjinya, terbit dan
terbit lagi tanpa peduli apa perasaanmu. Kau keliru sekali jika berusaha
melawannya, membencinya, itu tidak pernah menyelesaikan masalah.” (hal. 339).
Selain melalui nasihat,
pesan moral juga tampak dari perilaku para tokoh. Pada Bujang misalnya. Dia tak
banyak bicara. Setia pada prinsip. Pantang menyerah. Patuh pada sang mamak
untuk tidak menyentuh minuman beralkohol dan makanan yang mengandung Babi.
Hal yang paling saya sukai
adalah suasana kehidupan keluarga Tong. Di balik kesangaran mereka, toleransinya
begitu tinggi. Tak peduli dari agama dan suku mana pun, semua anggota sama, sederajat, dan dianggap
keluarga.
Contoh toleransi juga
ditunjukkan oleh Tuanku Imam. Tuanku Imam yang notabene adalah pimpinan sekolah
agama Islam, menguburkan Tauke Besar sesuai dengan agama sang Tauke. Tanpa ada
cibiran, apalagi sindiran. Hubungan Tuanku Imam dan Tauke Besar termasuk baik
malahan. Bahkan Tuanku Imam dan murid-muridnya juga merawat Parwez, salah satu
anggota Keluarga Tong yang berasal dari India.
Yang saya salut adalah
ketika tokoh Tuanku Imam tahu jika Bujang membenci suara adzan. Bukannya
menasihati apalagi memaksa “harus cinta adzan” atau “ayo salat.” Tuanku Imam
malah menasihati dengan cara mengajak berjalan-jalan. Lalu mencoba menyelami
kondisi psikologi Bujang, bicara tentang kehidupan tanpa menyuruh, tanpa
menggurui.
7. BAHASA YANG SEDERHANA
Memang, novel ini
menceritakan tentang sesuatu yang tidak umum yakni Shadow Economy. Namun cara
bertutur Tere Liye tetaplah sederhana. Tidak terlalu puitis, apalagi kelewat
canggih. Ada beberapa kata yang agak asing seperti katana, cryptocurrencies.
Namun secara keseluruhan, isi cerita bisa dinikmati siapa saja.
Secara keseluruhan, bagi
saya, novel Pulang patut diacungi jempol. Di antara seluruh novel Tere Liye,
Pulang adalah novel yang paling saya sukai. Meski demikian, bukan berarti novel
ini tanpa cela. Ada beberapa hal yang menurut saya terasa janggal.
1. Pada halaman 306
Diceritakan bahwa kondisi
Kopong sudah payah. Anehnya, Kopong masih bisa bercerita panjang lebar dengan
lancar, perihal masa lalu bapak dan mamak Bujang. Lepas bercerita, Kopong
meninggal.
Saya pernah mendampingi
orang yang sudah berada di ambang ajal. Pada situasi tersebut, jangankan
berbicara lima kalimat, membuka mata saja sudah tak sanggup. Akan terasa tidak
aneh kalau momen meninggal Kopong tidak terjadi pada detik itu juga.
2. Pada halaman 276
Saat itu Bujang berkelahi
demi melindungi Tauke Besar dari serangan anak buah Shang, Putra Master Dragon.
Bujang menggunakan apa saja sebagai senjata. Termasuk sendok yang bisa menancap
di leher. Saya sampai berhenti sejenak membaca. Membayangkan sendok macam apakah
yang bisa menembus leher? Kenapa sendok? Kenapa bukan garpu saja yang lebih
masuk akal?
3. Halaman 121
Momen ketika Bujang masuk
ke ruangan Tuan Lin. Pada halaman 120 disebutkan kalau ruangan tersebut
bagaikan aquarium dengan puluhan tukang pukul. Namun ketika Bujang melemparkan
kartu nama berlapis titanium pada leher Tuan Lin, tak ada satu tukang pukul pun
yang tahu. Bukankah tugas tukang pukul untuk berjaga-jaga dan mengawasi Tuan
Lin? Masa dari sekian banyak tukang pukul tak ada yang melihat bagaimana Bujang
melempar kartu nama?
4. Halaman 351
Aku memutuskan
sambungan telepon. White meletakkan gagang telepon, dia berteriak memanggil
koki dan pelayan restorannya, bilang dia harus segera pergi. Frans si Amerika
menghela napas panjang. Wajahnya terlihat sedih—kabar kematian Tauke Besar
membuatnya terpukul.
Novel ini menggunakan
sudut pandang “aku”. Berarti tokoh “aku” punya pengetahuan terbatas. Tidak
semua aksi dan perasaan tokoh lain bisa diketahui. Nah, bagaimana mungkin,
Bujang yang sudah menyudahi pembicaraan, tahu kalau nun jauh di negeri seberang
sana, White memanggil koki dan pamit. Bagaimana pula Bujang bisa mengerti kalau
Frans merasa terpukul.
Bayangkan saja kita sudah
selesai menelepon. Kita tak bisa kan, bercerita pada orang lain, “Saya habis
menelepon, di sana orang-orang merasa terpukul.” Tahu dari mana kalau terpukul?
5. Cover dan judul
Cover novel Pulang memang
unik. Ala-ala kertas sobek. Namun menurut saya, cover ini kurang pas dengan isi
cerita Pulang yang banyak menyuguhkan adegan pertempuran. Tidak ada indikasi
sama sekali kalau novel ini termasuk semi thriller. Apalagi gambar cover adalah
matahari terbit. Bagi yang belum tahu, Pulang pastilah dikira novel semacam
Rembulan Tenggelam di Wajahmu.
Judul juga bagi saya
kurang “click” dengan isi cerita. Semisal novel ini difilmkan, judulnya
“Pulang”, terus ada poster pria gagah menggenggam samurai. Sepertinya kok kurang
pas ya. Kurang greget, kurang misterius juga.
Kesimpulan dari
keseluruhan isi novel adalah, mengagumkan. Saya berulang kali memuji novel ini.
Dengan beberapa celah yang terasa janggal, tetap saja novel ini keren bagi
saya. Kejanggalan dalam novel apapun jelas ada. Tapi bukan berarti membuat
novel ini tidak layak untuk dibaca. Buktinya, saya sampai lupa diri keasyikan
membaca. Sangat recommended! Tere Liye membuktikan bahwa dirinya bukan cuma lihai dalam menulis novel kalem. Ia juga mahir mengemas cerita berbau action, yang hebatnya, tanpa meninggalkan nilai-nilai kebaikan. Salut!
Sesuatu yang melekat pada
diri saya pasca membaca Pulang adalah nasihat Teuku Imam.
“... Dekap seluruh
kebencian itu. Hanya itu cara agar hatimu damai, Nak. Semua pertanyaan, semua
keraguan, semua kecemasan, semua masa lalu, peluklah mereka erat-erat. Tidak
perlu disesali, tidak perlu membenci, buat apa? Bukankah kita selalu bisa
melihat hari yang indah meski di hari terburuk sekali pun?” (Hal. 339).
Saya membatin, mungkin
begitulah penjabaran “ridha”. Ridha, menerima takdir, tak peduli menyakitkan
atau membahagiakan. Menerima apapun yang terjadi akan melapangkan hati. Sesuai
hadis nabi. “Barangsiapa yang ridha pada ketentuan Allah, maka Allah akan ridha
padanya.” (HR. Tirmidzi).
Sampai saat ini, novel
Pulang masih bertengger di rak best seller. Bahkan sudah memasuki cetakan ke
-10 sejak rilis. Bagi siapa saja yang penasaran tentang novel tersebut,
semoga resensi saya membantu.
Judul : Pulang
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika
Tebal : 400 halaman
Terbit : September 2015