Bulan April 2013, Ibu masuk rumah
sakit akibat komplikasi diabetes, jantung, dan hepatitis. Di ruang IGD, luka
lebar di telapak kaki Ibu dibersihkan. Ibu sesekali mengernyit menahan sakit,
mata beliau terpejam. Saya yang berada di sisinya tersedu-sedan. Tiga hari lalu
Ibu masih bercanda dengan saya. Saya ingat betul kalimat Ibu. “Yang rajin
olahraga ya, Nak. Biar sehat. Doakan Ibu sehat dan panjang umur. Nanti kalau
Ibu wafat, kamu gimana?”
Mengenang kalimat tersebut, air mata
saya mengucur tanpa bisa dicegah. Saya takut Ibu meninggal. Selama ini yang men-support saya menulis cuma Ibu. Selama
ini yang mendoakan agar cita-cita saya terkabul hanya Ibu. Masih terekam dalam
ingatan saya, ketika cerpen anak saya dimuat Kompas, wajah Ibu sumringah
sekali. Berikutnya Ibu selalu bertanya, “Ada yang dimuat lagi?” Pertanyaan
sepele namun serasa suntikan semangat buat saya. Saya terisak-isak, terkenang
pada pertanyaan tersebut.
Mendengar isakan saya, Ibu mendadak
membuka mata. “Hei, kenapa menangis?” Ibu menatap saya sebal. Saya tak sanggup
berkata apa-apa. Yang ada malah saya
semakin tersedu-sedu.
“Jangan menangis! Jangan menangis!”
kecam Ibu tak suka. Demi agar Ibu tenang, saya berusaha keras menahan tangis.
Dua hari berada di rumah sakit,
kondisi Ibu terus menurun. Pagi-pagi pada hari ketiga, Ibu sudah tidak sadar.
Menjelang sore, sekitar pukul setengah tiga, Ibu wafat. Saya seakan dibanting
jauh ke dasar bumi, terpuruk, dan tidak berdaya.
Di makam Ibu, salah satu tetangga
menyalami saya. Dengan wajah sendu, ia berkata, “Setidaknya kamu masih punya
Bapak. Bersyukurlah. Saya? Dua-duanya sudah tidak ada.” Ia mengusap-usap tangan
saya.
Kalimat tersebut membuat saya
terenyak. Dia benar. Masih ada Bapak dan kakak yang menyayangi saya. Saya tidak
sendirian. Sedikit rasa syukur membuat saya merasa lebih baik.
Saya melewati masa-masa duka dengan terus
menjaga api semangat saya. Saya terus menulis. Saya ingin mengukir prestasi.
Saya ingin membuat Ibu bangga, meski beliau telah tiada.