Dari balik kaca taksi, aku
bisa melihat deretan gedung perkuliahan menjulang angkuh. Jalan-jalan kecil
berpaving berpola melingkar, diapit pohon-pohon palem dan bunga kecil-kecil
berwarna ungu menciptakan sensasi ketakjuban tersendiri. Kampusku dulu. Sudah berubah drastis. Aku menarik kepala, kembali
fokus ke depan. Sebentar lagi. Feeling-ku
mengatakan sebentar lagi lembar-lembar masa lalu akan dimulai. Perutku jadi
mulas.
Pada sopir taksi aku
berkata, “Berhenti di depan tenda putih.” Taksi bergerak melambat. Aku menelan
ludah. Dari sini sudah kudengar gelak tawa juga dengung obrolan merambati
udara. Mendadak aku tidak ingin turun. Khawatir bakal bertemu lagi dengannya. Apakah
dia ada di sana? Bagaimana kalau aku nanti jika kami saling menatap? Aku
mengernyit ngeri.
“Ibu, benar di sini
tempatnya?” Sopir taksi berpaling menghadapku.
“Ah..,” Aku menjilat
bibir, “yup. Benar.”
Kegugupankanku teralihkan
oleh nominal argo yang berkedip-kedip merah di dashboard. Setelah menyerahkan
sejumlah uang, juga menarik napas panjang, sekaligus memotivasi diri sendiri
bahwa ini cuma pesta reuni biasa, tanganku mantap membuka pintu. Dengan jantung
berdegup keras, aku melangkah menuju tenda putih itu.
oOo
“LILI!”
Aku tersentak. Windi. Oh,
mau tak mau aku ternganga. Windi, si model kampus nan langsing di masa lalu, kini
sudah berubah. Lemak sudah menjangkiti tubuhnya. Tapi dia masih memesona
seperti dulu. Windi meletakkan minumannya dan menyeretku ke tengah kerumunan.
“Friends, lihat! Si cewek
barbie ini masih sama seperti dulu!” Dia mengumumkan.
Kesenyapan tercipta.
Berpasang-pasang mata menumbukku bersamaan.
“Ya ampuuun! Cantik
banget!” Deva buru-buru mendekat. Tangannya mengusap-usap pipiku.
Dalam sekejap aku sudah
terlibat dalam obrolan ringan dengan pertanyaan ulangan yang sepertinya akan
terus meneror. “Kapan menikah?”. Bagaikan artis, kujawab pertanyaan tersebut
berkali-kali. Memperhatikan riuh canda di dalam tenda, kusadari begitu cepat
waktu melaju. Rasanya baru setahun lalu aku berada di tempat ini bersama
mereka, berkutat obrolan seputar tugas kuliah sambil jajan batagor murahan.
Kini waktu melemparku kemari. Sementara aku masih berstatus sama seperti dulu,
teman-temanku kebanyakan telah bertransformasi menjadi bapak dan ibu.
Di pintu keluar, lima
dosen bergerombol, bercakap-cakap dengan para alumni. Aku tak ingat siapa
mereka. Mungkin angkatan setelahku. Seharusnya aku bersalaman dengan dosen
pembimbingku, Bu Galuh. Tapi ah, nanti saja.
“Lili?”
Secara otomatis aku
berbalik. Dan di sanalah dia berada. Tatapan kami beradu. Bibirnya melengkung
menciptakan senyuman canggung. Kakiku seperti terbenam ke kolam lumpur. Aku
terpaku.
“Apa kabar?” Dia
mendekat, menyalamiku.
“Sangat baik.” Aku
mengangguk beberapa kali, berusaha menyembunyikan kegugupan.
“Lili makin cantik ya?
Dia seperti princess disney hijrah kemari,” kata Deva.
Celetukan Deva memicu komentar-komentar
lain. “Iya. Kayak artis,” Ryan mengamatiku dari bawah, terus ke ujung kepala.
Aku terkekeh. Dari sudut
mata, aku bisa melihat dia mengawasiku. “Masa? Kamu juga makin ganteng.” Aku
membalik umpan.
“Gendut apa ganteng?
Sama-sama berawalan ‘g’ nih?” balas Ryan. Ledakan tawa membahana.
“Kalo Ryan sih lebih
tepatnya gentong, Li,” kelakar Merta.
Aku tertawa.
Dia yang sedari tadi
diam, menarikku duduk. Sentuhan jemarinya. Berdampingan dengannya. Menciptakan
sensasi aneh yang membuatku ingin melarikan diri ke dunia lain yang tidak
terjamah olehnya.
“Kamu belum juga
menikah?”
Aku mengedikkan bahu.
“Seperti yang kamu lihat.”
“Kenapa?”
Kenapa katanya. Beberapa
menit aku berpikir. Kenapa. Jawabannya adalah aku tidak tahu. Tuhan belum
menakdirkan menikah. Harusnya dia bertanya pada Tuhan. Bukan padaku. “Belum ada
yang sreg aja.”
“Aku minta maaf.” Dia
memandangku seakan-akan aku anak kucing persia yang dianiaya.
Aku mengibaskan tangan.
Tertawa. “Maaf untuk apa? Nggak ada hubungannya denganmu,” sahutku sok santai.
“Setelah kita, emm,
berpisah, pernah mencoba membuka hati lagi?”
Aku mengembuskan napas
banyak-banyak. Kenapa aku harus diinterogasi begini? Dia masih sama seperti
dulu. Memperlakukanku seolah-olah aku tak berdaya.
“Itu sudah menjadi
urusanku. Bukan urusanmu lagi,” tegasku. Intonasiku berubah tegang. Oh, jangan
bahas itu lagi.
Dia memegang kedua
pundakku, memaksa badanku menghadap ke arahnya. “Akan jadi urusanku kalau kamu
seperti ini gara-gara aku,” bisiknya.
Bulu kudukku merinding. “Jangan
konyol!” Aku melotot.
Dia hendak bicara lagi
namun kehadiran Ryan mencegahnya. “Kalian ini, reunian kok serius amat. Anakmu
nggak ikut?” Ryan duduk di sisinya.
“Nggak. Lagi lengket sama
papanya. Habis dibeliin kelinci.” Dia berkata. Posisi tubuhnya sekarang condong
pada Ryan.
Oh, dia sudah punya anak.
Bagus kalau begitu. Seharusnya kalau sudah memiliki anak, dia tak perlu lagi
repot-repot memikirkanku. Bukankah kehadiran anak sudah cukup menyita pikiran? Seperti
ibu-ibu yang jangankan berdandan di rumah, mengganti daster saja sepertinya tak
sempat. Lantas kenapa dia masih sibuk membahas masa lalu? Hei, ini sudah
delapan tahun.
“Li. Nunggu apa? Ayo
cepetan nikah,” Ryan nyengir.
“Dia masih trauma dengan
masa lalu kayaknya,” dia berkata.
Dahi Ryan berkerut. “Oya?
Dikhianati pacar, Li?”
Sialan! Lagi-lagi hal ini
dibahas. Oke, aku tak tahan lagi. Secara otomatis aku berdiri. Meja snack
adalah tujuanku. Aku ingin melahap semua yang terhidang. Sebal ternyata bisa
menimbulkan kelaparan hebat. Dan sudah pasti, semakin lama aku berdiam di
sisinya, maka perutku bakal melilit.
“Lili! Mau kemana?”
Suaranya berusaha menahan.
“Aku lapar,” sahutku
terus melangkah tanpa menoleh.
Aku mencomot risol lalu
menyurukkannya ke mulutku. Lelehan mayones bercampur rajangan daging asap lumer
di lidah. Perasaanku membaik. Di sebelah barat, teman-temanku bercanda dan
berceloteh. Aku terlalu malas bergabung bersama mereka. Dia masih asyik
mengobrol dengan Ryan. Ah, seharusnya aku tak usah kemari. Dia belum juga
berubah. Caranya bertanya. Memangnya aku ini gadis paling sengsara sedunia apa?
Aku juga tidak menyukai cecarannya. Bahasa tubuhnya. Pokoknya cara dia
memperlakukanku. God, I’m sick.
“Li, ngapain berdiri di
situ aja? Yuk gabung sama yang lain,” Nadia si jenius mengambil mini burger.
Aku tersenyum masam. “Kayaknya
aku harus pulang. Rada pusing nih,” aku memegang kepala. Pura-pura.
Nadia berhenti mengunyah.
Malah memelototiku. “Waduh, jangan pulang sendiri dong. Minta anter Lexi tuh.”
Aku menggeleng kuat-kuat.
“Telepon taksi aja.”
Nadia tak mengubris.
Sebaliknya dia malah melambai. “Lexi! Lili mau pulang nih. Sakit katanya.”
oOo
Mungkin karena terlalu
malu melongok pada kejadian delapan tahun silam, itulah sebabnya aku resah
selama reuni berlangsung. Tidak akan merasa tak nyaman begini, kalau dia tutup
mulut. Menganggapku manusia baru. The new
Lili. Toh, perasaanku terhadap dia sudah tak lagi sama.
“Agak ngebut nggak
apa-apa? Pukul sembilanan kan reuninya selesai. Aku harus balik ke sana
cepat-cepat.” Suaranya menyibak keheningan.
“Terserah,” sahutku
lelah.
Kesunyian membentang di
antara kami. Aku dilanda kecanggungan akut.
“Aku tau kamu nggak
pusing,” katanya datar.
Aku tak menjawab.
“Kamu masih dendam sama
aku?”
Itu lagi. Tekanan darahku
naik selevel. “Lexi! Bisa berhenti ngomongin itu?”
Mendadak dia meminggirkan
mobil lalu menginjak rem, membuat kepalaku terhentak ke depan. “Jadi kamu masih
menyalahkanku?” Dia menoleh, menatapku lekat.
“Aku bilang stop! Apa
efeknya bahas itu terus? Aku bakal sangat terbantu kalau kamu diam. Tidak
mengungkit masa lalu!” Aku mulai marah.
“Terus kenapa kamu masih
seperti ini? Nggak menikah, nggak menjalin hubungan dengan pria?” Air matanya
menggenang. “Aku selalu merasa bersalah padamu, Li.”
Kualihkan pandangan ke
jalan raya. Lalu lalang kendaraan masih saja membuatku merasa makin putus asa.
Kenapa dia masih belum percaya juga?
“Keputusanmu sudah benar,
Lex. Menikahi suamimu. Tentang aku, karena memang belum ada yang pas di hati.
Bisa dimengerti nggak sih?” cerocosku tak sabar.
“Apa yang harus kulakukan
untuk menebus semuanya? Aku nggak mau kamu terus-terusan terluka, Li. Harusnya
aku menolak dijodohkan waktu itu.” Suaranya bergetar karena isakan.
Astaga! masih ngotot
rupanya. “Lex, berhentilah menyalahkan diri sendiri. Aku baik-baik saja. Lihat!”
Telunjukku teracung pada wajahku.
Dia menggeleng. “Aku masih
nggak yakin,” ucapnya lirih.
Oh, Tuhan! Mataku
berputar kesal. “Aku bukan Lili delapan tahun yang lalu, Lex. Penampilan aja
yang masih feminin. Tapi tentu saja aku sudah ber-u-bah!” Aku nyaris berteriak.
“Lusa aku balik ke Bali.”
Aku berpaling padanya. “Terus?”
“Boleh aku memelukmu?”
Dia memohon.
Reflek aku membuka mulut.
“Lexi. Please. Aku sudah bukan Lili
yang dulu.”
Dia menatap setir.
Sedetik kemudian dahinya sudah menempel di sana. Tampaknya dia frustasi.
Aku jadi iba. Apa aku
terlalu keras kepadanya? Apa dia kecewa? Bukankah kenyataanya kami memang tak
mungkin bersama? Kalaupun bisa, di mana kami akan melanggengkan hubungan kami?
Luar negeri? Yang benar saja. Keluargaku bisa kena stroke mendadak. Aku juga
sudah mengubur kenangan itu. Tak ada gunanya dikorek lagi.
“Lex, cintailah suamimu.
Aku masih sayang sama kamu. Tapi ... Sayang sebagai teman,” ujarku pelan. Ingin
aku membelai rambutnya yang masih cepak. Aku tak melakukan. Khawatirnya menimbulkan
persepsi yang berbeda.
Dia mengangkat kepala,
menumpukan kedua lengannya pada setir. “Yah. Teman,” dia tersenyum getir.
Dia menghidupkan mesin.
Mobil melaju, berbaur dengan keramaian penghuni jalan raya. Dia tak lagi
bicara. Demikian pula diriku. Dan aku berharap, berikutnya dia tidak lagi membahas
tentang hubungan kami delapan tahun silam. Aku sudah jauh melangkah maju. Dan
tak ingin lagi menoleh ke belakang.