Siang
itu aku baru pulang jalan-jalan. Mia, teman kosku, keluar kamar dengan mata sembab. Dia melenggang ke kamar mandi. Tumben
Mia si Ratu Cerewet ini sedih? Biasanya dia paling heboh di kos-an. Mengingat
orangnya lucu, gampang ketawa, dan kalau terttawa, cetar membahana sampai
terdengar ke rumah tetangga. Sebagai sahabat, aku mencoba menghibur. Habis
ganti baju, aku main ke kamar dia. Mia lagi tiduran sambil selimutan.
Singkat
cerita, kami mulai ngobrol.
“Ibu
abis nelpon. Katanya kemarin lusa nemu SMS di hape Ayah. Dari cewek.” Ia
menjelaskan.
“Kok
bisa tau kalo cewek?” tanyaku .
“Dari
isi SMSnya. Masa SMS Ayah trus bilang, ‘Selamat tidur, Mas. Mimpiin aku ya.
Beneran kangen kamu.’ Kan dari cewek? Lha wong panggil ‘Mas’? Apalagi
akhir-akhir ini Ayah suka pulang malem. Alasannya sibuk di kantor. Aku kasian
sama Ibu.” Air mata Mia menitik lagi.
Aku
tercengang sesaat. Duh, kasian amat ibunya Mia. “Trus, ayahmu bales nggak?”
“Hapenya
keburu diambil Ayah karena mau berangkat ke mana gitu. Untung Ibu udah nyatet
nomernya. Kata Ibu, ntar sore mau ditelpon tuh cewek. Sekarang Ibu masih repot
jualan. Aku juga minta nomer cewek itu tadi.” Mia memeluk bantal Spongebob-nya
lebih erat.
“Kenapa
nggak kamu aja yang telpon? Daripada galau mellow nggak melakukan apa-apa?” Aku
mulai mengompori.
Bukannya
menurut, Mia malah duduk tegak. Matanya berbinar-binar layaknya habis ditetesi
obat mata anti-iritasi. “Nah! Gimana kalo kamu yang telpon?” tanyanya penuh
semangat.
Aku
kaget. “Kok malah aku? Itu kan urusan keluargamu? Aku nggak mau ikut-ikut ah.”
Aku mengelak.
Mia
nyengir jail. “Kan kamu pinter debat. Ayo lakukan! This is an order!” Ia menyerahkan ponselnya padaku. “Tinggal tekan
nomor, ‘GILA’, di situ. Aku menamainya begitu.”
Aku
masih bersikukuh. “Nggak mau!” Kepalaku menggeleng tegas.
“Harus
mau! Kamu nggak mau bantuin sahabat sendiri apa? Kamu mau aku dan Ibu sakit
karena penasaran?” bentaknya judes.
Buset!
Kalau tak lagi ada masalah, sudah kujitak anak ini. Mau tak mau aku menerima
ponsel tersebut. Setelah mencari-cari di daftar kontak, aku mulai menelepon.
“Halo.”
Aku
kaget. Lho, benar? Suara cewek! Aku bingung mau bilang apa.
“Halo.
Ini siapa ya?” tanyaku sangsi.
“Lho?
Adik ini siapa?” Ia balik bertanya dengan lembut.
“Anda
yang SMS ayah saya! Dasar wanita penggoda!” Aku mencoba mengomel.
Hening
sejenak. Telingaku menangkap suaranya memanggil seseorang, entah siapa. Aku
menunggu. Lalu ada suara dengung obrolan. Aku masih menunggu.
“Maaf,
Dik. Adik ini masih sekolah? Ayah ibunya ada? Saya mau bicara,” katanya.
Makin
bingung aku. Tiba-tiba Mia terkikik. Kan obrolan kami di loudspeaker jadi dia mendengar semuanya. “Suaramu kayak anak-anak,”
bisik Mia sambil memegangi perut.
Sialan!
Pantesan! Jangan-jangan aku dikira
anak SD lagi.
“Bicara
sama saya saja!!” balasku gemas.
Hening
sejenak.
“Halo?
Dik, itu tadi istri saya. Nama saya Kabul.” Sekarang yang bicara cowok berlogat
Jawa.
Aku
melongo. Terus hubungannya apa? “Kenapa istri Anda SMS ayah saya?” tanyaku
tegas.
“Maaf.
Salah kirim. Istri saya salah nomer. Saya kan pergi ke Bojonegoro. Baru tadi
malam datang. Maaf, Dik. Istri saya keliru.” Mr. Kabul menjelaskan, suaranya terdengar
agak ketakutan.
Spontan
Mia ngakak sejadi-jadinya. Kurang
ajar! Sekarang yang gantian malu malah aku.
“Ya
udah kalo gitu. Maaf, Pak ya. Sampaikan salam buat Ibu, saya minta maaf,”
kataku tak sabar ingin segera menutup telepon.
Untung
Mr. Kabul tak marah. Sementara Mia masih guling-guling terpingkal-pingkal.
Iiiihhh, ingin aku siram dengan air mineral deh.
“Lain
kali, aku nggak mau diminta melakukan hal-hal semacam ini!” ujarku sengit.
“Halah!
Ketawa aja deh! Lucu kan, ya kejadian tadi?” balasnya cengar-cengir.
Iya
sih, lucu tapi memalukan. Tapi biarlah, sudah kadung. Jadi malam minggu itu,
kami tak henti-hentinya membahas Mr. Kabul sambil ketawa-ketiwi.