Saturday, 11 August 2012

Puisi Rudyard Kipling 1909

Puisi ini ada dalam buku MAKE YOURSELF UNFORGETTABLE by Dale Carnegie Training, terbitan Gramedia. Gara-gara baca  puisi di bab Pendahuluan, akhirnya aku memutuskan membeli buku ini. Ini dia:

******************************************************************
Bila kau bisa tetap menegakkan kepala ketika semua orang di sekitarmu
Tak dapat melakukannya dan mereka menyalahkanmu;
Bila kau bisa menaruh kepercayaan pada dirimu ketika semua orang meragukanmu,
Tetapi kau juga memperkenankan keraguan mereka;
Bila kau bisa menunggu dan tidak lelah menunggu,
Atau, dibohongi, tapi tidak berbohong,
Atau, dibenci, tapi tidak membenci,
Namun kau tidak tampak terlalu baik, dan berbicara dengan bijak:

Bila kau bisa bermimpi--tapi tidak diperbudak mimpimu;
Bila kau bisa berpikir--tapi tidak menjadikan pikiranmu sebagai tujuanmu;
Bila kau bisa menghadapi Kemenangan dan Bencana
Dan memperlakukan kedua penipu ini setara
Bila kau mampu mendengar kebenaran yang kau ucapkan

Dipelintir oleh para bajingan untuk membuat perangkap bagi orang bodoh
Atau melihat hal-hal yang kau curahkan untuk kehidupanmu menjadi hancur,
Dan membungkuk dan membangunnya dengan alat-alat usang;

Bila kau bisa membuat semua kemenangan menjadi satu tumpukan
Dan merisikokannya pada sebuah permainan lontaran-dan-lemparan,
Dan kalah, dan memulai lagi dari awal,
Dan tak pernah mengucapkan sepatah kata pun tentang kekalahanmu;
Melayani giliranmu jauh setelah semua itu tiada
Dan terus bertahan ketika tidak ada sesuatu dalam dirimu
Kecuali Kemauan yang mengatakan padanya: "Bertahanlah";

Bila kau bisa berbicara dengan kerumunan orang
dan mempertahankan kebajikanmu,
Atau berjalan dengan para Raja--dan tidak kehilangan sentuhan umum;
Bila baik musuh maupun teman tak dapat menyakitimu;
Bila semua orang berhitung bersamamu, tapi tidak terlalu banyak;
Bila kau bisa mengisi menit yang tidak kenal ampun
Dengan berlari jauh selama enam puluh detik,
Dunia dan seluruh isinya kan menjadi milikmu,
Dan--lebih dari itu--kau akan menjadi Manusia dewasa, putraku!
 *****************************************************



Monday, 6 August 2012

Cerpen ini dimuat Tabloid Gaul tahun 2010.


WAJAH MERRY MENGALIHKAN DUNIA JOKO

Joko berlari sekuat tenaga mencari tempat berteduh. Hujan plus petir menyerang bumi secara mendadak. Beberapa orang yang nggak siap akan serangan langit itu pontang-panting panik. Termasuk Joko salah satunya. Joko sih udah biasa ama yang namanya hujan deres begitu. Tapi karena malam ini dia abis pulang OSPEK, bawa segepok kertas plus kardus buat tugas besok, jadinya dia musti water resistant, agar barang bawaannya nggak basah kena hujan. Makanya dia lari sprint dengan kekuatan maksimal kayak dikejar anjing yang terjangkit Rabies.
Fiuh… Akhirnya Joko tiba di sebuah halte. Nafasnya ngos-ngosan seperti abis nguli beras. Joko ngecek barang-barangnya. Rada basah. Tapi bagi Joko nggak masalah. Bisa dikeringin pake angin hairdryer mamanya ntar malem.
Joko memperhatikan jalanan yang bersimbah guyuran hujan. Pandangannya sedikit buram. Ia mencopot kacamata minusnya, lalu mengelapnya dengan ujung kemejanya yang udah keluar dari ikat pinggang. Setelah dirasa cukup, Joko memakainya lagi. Masih sama. Tetep aja pandangannya nggak terlalu jelas. Kacamata Joko emang udah waktunya ganti seminggu lalu. Minusnya kan nambah. Tapi dia males ke toko optik.
Dua jam berlalu. Hujan masih belum juga berhenti. Padahal Joko pengen cepet tiba di rumah biar bisa ngerjain tugas-tugas OSPEK-nya. Joko ambil nafas panjang. Menunggu emang membosankan. Tiba-tiba seseorang menyenggolnya lengannya. Reflek Joko noleh.
Alamak!! Cantik banget. Hati Joko langsung bernyanyi. Ketika, kau lewati.. Bumi tempat ku berdiri.. Kedua mata ini.. Tak berkedip.. Menatapi.. Pesona, indah wajahmu.. Mampu mengalihkan duniakuuuu.. Joko terpana.
“Maaf nggak sengaja,” ujar cewek itu lirih sembari tersenyum malu-malu.
Ya ampun! Badan Joko kaku bak abis disambar petir. Cewek yang nyenggol lengannya itu tinggi, langsing, pake sweater biru muda, rok coklat hingga di bawah lutut, trus pake sepatu boot feminin ijo tua. Tak lupa ia melilitkan scarf ijo muda di lehernya. Rambutnya dimodel curly, wajahnya seputih salju. Wow! Persis kayak cewek-cewek Korea.
“Maaf ya, Mas.. Beneran nggak sengaja,” ulang cewek itu lagi. Mungkin karena Joko melototin dia tanpa kedip.
“Eh. Iya.. Nggak pa pa kok,” Joko gelagapan.
Cewek itu tersenyum lagi. Lalu ia membuka payung warna transparan, siap-siap pergi dari halte. Joko nggak mau buang kesempatan.
“Mbak, masih ujan lho. Kok udah mau pergi?” Joko berusaha nahan.
“Nggak pa pa, Mas.. Kan pake payung,” kilahnya lembut.
Iiiihhh! Joko makin geregetan dibuatnya. “Ya udah, aku temenin mau? Soalnya rawan juga ujan-ujan gini jalan sendiri. Udah malem pula,” Joko nyoba nawarin bantuan. Biasalah ada udang di balik nasi goreng.
“Mmm, tapi kita kan belum kenal,” pancing cewek itu.
Joko cengar-cengir. Umpan cewek itu tertangkap jelas oleh otaknya. Joko ngulurin tangan.
“Namaku Joko. Joko Kuntonegoro,” ucapnya medok.
Merry menyambut tangan Joko. “Merry. Merry Gisella.”
Tangan Merry dirasa bagai porselen Cina bagi Joko. “Nah, Merry. Kita pergi sekarang yuuukk,” Joko udah nggak sabar.
Merry mengangguk. Joko ngambil alih payung Merry. Dia udah nggak peduli lagi dengan kardus dan kertasnya yang bakal kecipratan kena air. Joko tetep nekat nerobos hujan walaupun pandangannya udah buram. Pokoknya, otak Joko udah teralih gara-gara ngeliat Merry. Persis lanjutan lagu Afgan yang tadi bersenandung di hatinya. Wajah Merry mengalihkan dunia Joko.
“Kita udah nyampe,” kata Merry lirih.
Joko bingung. Di situ nggak ada rumah. Adanya cafe, pub, ama toko.
“Emang kamu mau kemana, Mer? Bukannya pulang?” tanya Joko heran.
Merry tersenyum manis. “Aku kan kerja paruh waktu di Fantastic Pub ini,” Merry menunjuk sebuah pub di hadapan mereka.
Joko manggut-manggut. “Ooo. Ya udah deh. Met kerja ya. Emm, Mer.. Besok-besok, boleh nggak aku nemuin kamu di sini?”
“Boleh. Asal nggak lagi kerja. Aku tunggu ya. Makasih udah nganterin,” balas Merry manja.
Merry pun masuk. Joko mengepalkan tangannya ke udara. Yess!! pekiknya. Hatinya bahagia tak terkira. Maklum, tiga hari yang lalu, Risti, mantannya, mutusin Joko tanpa alasan. Joko nelangsa sampe nggak makan dua hari. Usut punya usut, ternyata Riski selingkuh ama Roy, sahabat karib Joko. Katanya sih, Risti udah nggak tahan ama Joko. Sebab Joko kerap nanya ini itu kalo jalan bareng. Dia kan minusnya udah delapan. Tapi ogah ganti kacamata. Lama-lama Risti gerah. Akhirnya, udah deh.. Joko ditinggal selingkuh. Untung sekarang Joko udah nemu calon pengganti Risti. Jadi dia udah nggak sedih lagi.
Hujan mulai mereda. Joko berjalan menyusuri trotoar. Bayangan Merry Gisella berkelebat-kelebat di benaknya. Joko senyam-senyum sendiri kayak orang sinting. Tapi pas otaknya menampilkan wajah Risti, Joko misuh-misuh sendiri. Sampe orang yang lalu lalang di situ pada ngerutin kening ngeliat tingkah Joko. Mendadak ia ingat sesuatu yang nggak kalah serem dibandingkan perlakuan Risti kepadanya. Tangan Joko telah memegangnya sekarang. Apa itu? Kardus plus kertas-kertas Joko ternyata basah kuyup. Itu berarti ia kesulitan nyelesein tugasnya. Kalo besok sampe blom beres, ia bakal dihukum nyabutin rumput selapangan bola sehari penuh. Hadeeehh! Joko megangin kepalanya. Tiba-tiba aja dia ngerasa pening tujuh keliling.
oOo
Saking getolnya mikirin Merry, Joko ampe nggak konsen nyabutin rumput lapangan. Kadang batu pun ia congkel dari tanah. Joko kepingin banget ketemu Merry lagi. Tapi gimana caranya? Kan lagi OSPEK. Tugasnya bejibun. Joko nggak bisa kelayapan malem-malem. Hmm. Joko peras otak. Tiba-tiba.. Ting! Sebuah ide gila nan edan terlintas dalam benaknya.
Joko berhenti nyabut rumput. Ia memejamkan mata sambil megangin kepalanya. Joko nyoba berdiri. Tapi kedua kakinya goyah. Tak lama kemudian ia terhuyung, lalu terjerembab ke tanah.
Salah seorang senior yang kebetulan ngeliat langsung teriak-teriak sambil nunjuk-nunjuk Joko. Beberapa panitia OSPEK pun lari pontang-panting menuju lapangan. Tubuh Joko digotong rame-rame. Mereka membawanya ke ruang kesehatan. Kakak-kakak senior mulai bicarain dia.
“Dia pingsan. Waduh.. Gimana nih?”
“Kasih minyak kayu putih.”
“Ah! Jangan! Hemat biaya. Dananya blom turun semua. Biar aku tempelin kaos kakiku aja. Ini udah seminggu lebih nggak dicuci. Pasti cepet sadar.”
Glek! Joko yang pura-pura pingsan nelen ludah panik. Belum sempat Joko mikir, mendadak.. Plek! Bau ikan asin busuk membekap hidungnya. Joko langsung melotot. Nafasnya megap-megap.
“Nah.. Tuh kan langsung siuman,” kata mas si pemilik kaos kaki.
Joko sok linglung. Ia memperhatikan sekitarnya dengan wajah bingung.
“Dik.. Tadi kamu pingsan.. Mm, saran kami, sebaiknya adik pulang aja. Kalo perlu besok nggak usah masuk deh. Tunggu sampe bener-bener sehat,” kata salah satu mbak senior.
Yippie! Hati Joko bersorak girang. Taktiknya berhasil. Kelebat wajah Merry lagi-lagi menghinggapi benaknya. Oh Merry. Tunggulah kedatanganku,” bisik Joko.
oOo
  “Merry!” panggil Joko.
Merry yang hendak masuk ke halaman Fantastic Pub and Café langsung menghentikan langkah. Wajahnya tampak sumringah melihat kehadiran Joko. Walaupun udara nggak terlalu dingin, Merry tetep aja pake scarf ama rok panjang. Tapi kali ini warnanya ungu. Scarfnya warna pink. Membuatnya makin kliatan fresh.
“Haiiii, Jok,” sapanya lembut.
“Aku mau ketemu kamu. Pengen ngobrol-ngobrol.”
“Mmm.. Kalo lagi kerja, nggak bisa. Sorry.”
“Kalo maen ke tempatmu bisa kan? Besok siang, ada?”
“Boleh dong. Alamatnya, Jalan Kenanga Putih nomer satu lima enam. Ada pohon mangganya di halaman. Aku tunggu,” sahut Merry kenes.
“Oke deh kalo gitu. Sampe ketemu besok ya, Mer.”
Merry mengangguk sambil mengulas senyum. Duh Gusti. Kapan aku bisa jadi pacarnya, batin Joko gemes.
oOo
Sesuai perjanjiannya dengan Merry, siang ini Joko udah siap-siap mau berangkat. Rambut dimodel jabrik. Celana ama kaosnya disetrika sampe licin pake pewangi. Ia nyemprotin parfum berulang kali ke badannya. Tak lupa Joko memakai kacamata barunya. Tadi malem ia bela-belain dateng ke optik. Ganti kacamata baru. Dengan kacamata itu, Joko berharap bisa ngeliat wajah Merry sejelas-jelasnya.
Setelah dandan kurang lebih setengah jam, Joko mengeluarkan motor. Ia berangkat seraya bersiul-siul riang. Akhirnya motor Joko udah memasuki Jalan Kenanga. Joko tolah-toleh, nyari nomer satu lima enam.
“Satu lima empat. Satu lima lima.. Satu lima… Nah. Ini dia. Itu pohon Mangganya,” gumam Joko.
Joko turun dari motor. Ia menghampiri pagar, memencet bel. Joko menunggu beberapa saat. Sambil nunggu, ia mengamati sekitarnya. Sepi. Joko khawatir Merry nggak ada. Pas mau mencet bel lagi, mata Joko menangkap sesuatu. Sebuah papan kecil bertuliskan TERIMA KOS PUTRA terpasang di pagar. Joko garuk-garuk kepala. Ia ragu Merry beneran tinggal di situ.
Joko mencet bel sekali lagi. Beberapa saat kemudian, seorang cowok keluar.
“Cari siapa, Mas?” tanyanya.
“Merry ada?”
Cowok itu mengernyitkan dahi. “Merry? Merry siapa ya?”
“Eng.. Merry Gisella. Yang kerja di Fantastic Pub and Café.”
Cowok itu diem sejenak. “Oh, Joko maksudnya?”
Hah? Joko bengong. Ia nggak ngeh maksud cowok itu. Yang bernama Joko kan dia.
“Bukan. Merry. Anaknya tinggi, putih, kerja di Fantastic Pub,” Joko ngotot.
Cowok itu senyam-senyum. “Mas. Dia itu Joko. Kalo malem jadi Merry. Mas langganan dia ya?” goda cowok itu.
Di saat yang sama, sosok cowok berkulit putih, cakep, kurus, rambutnya masih curly, muncul.
“Ini dia. Jok.. Dicari langgananmu tuh. Laris banget,” kata cowok tadi.
What? Joko terbelalak. Cowok yang dipanggil Joko tadi emang berwajah cantik. Persis Merry. Tapi pas pandangan Joko turun, alamak!! Jakunnya segede Kedondong. Dadanya rata kayak papan. Betisnya kesebalasan gitu. Joko nelen ludah.
“Hai. Masuk yuk. Aku sekamar sendiri kok. Yuk,” ajak Joko banci alias Merry.
Joko menggeleng panik. Ia cepet-cepet putar badan, ngidupin motor, lalu langsung ngacir dari situ. Ya Tuhan!! Joko berulangkali nyebut sepanjang jalan. Ia teringat dengan scarf yang selalu melilit di leher Merry. Ternyata itu buat nyembunyiin jakunnya. Dan rok panjangnya, buat ngelabuhin betisnya.
“Untung udah ganti kacamata. Jadi bisa liat jelas tadi. Kalo nggak… Hiii!” Joko komat-kamit sembari bergidik ngeri. Nggak sanggup ngebayangin kejadian selanjutnya.







Sunday, 5 August 2012

Naskah ini dimuat di Rubrik Kata Hati Majalah Sekar bulan Juni 2012


KEBETULAN

Saya sudah sering mendengar berkali-kali bahwa tidak ada kejadian yang kebetulan. Semua sudah di-design yang Maha Kuasa, semua sudah ditakdirkan. Tapi kadang kalau pikiran lagi sesak dan suntuk tak karuan, kalimat bijak seperti di atas sering saya lupakan.
Suatu hari saya iseng ikut kuis berhadiah buku di Twitter dan “kebetulan” menang. Sebagai penggemar buku fantasi dan thriller, terus terang saya agak kecewa karena hadiahnya bukan buku yang saya harapkan. Buku tersebut bercerita mengenai kisah pemuda yatim piatu di Korea pada abad ke-12.
Setelah buku itu sampai ke tangan saya, saya tidak mau bersusah payah segera menyampuli. Padahal biasanya kalau dapat buku baru, saya langsung konsentrasi pasang sampul. Berminggu-minggu, saya belum tertarik membaca buku bercover sungai dan anak kecil tengah memungut pecahan keramik itu.
Di suatu pagi, saya bangun dengan perasaan kacau. Saya agak depressed karena ada masalah yang saya sendiri tidak tahu jalan keluarnya.  Waktu itu masih subuh, jadi saya segera solat dan berdoa. Saat berdoa, saya tumpahkan segala beban saya. Istilahnya “curhat” pada Tuhan. Lepas berdoa, pikiran saya mulai sedikit rileks.
Saya terdiam beberapa saat. Tiba-tiba tatapan saya tertumbuk pada buku A Single Shard, buku hadiah yang saya menangkan di Twitter. Tangan saya terulur mengambil, lalu mulai membaca. Halaman demi halaman saya lalap dengan takjub. Dan saya benar-benar terpaku di halaman 45. Ada kalimat: “…, sungguh sia-sia jika kita menghabiskan waktu untuk bersedih karena sesuatu yang tidak dapat kita ubah.” Seketika itu pula, saya merasa plong. Saya pun mulai bersemangat.
Setelah menutup buku tersebut, saya mulai yakin. Bahwa buku itu, sampai ke tangan saya, bukan karena kebetulan. Saya menang kuis juga bukan kebetulan. Buku itu bukan buku fantasi atau thriller, juga bukan kebetulan. Buku tersebut sudah ditakdirkan Tuhan untuk saya, karena Dia tahu suatu ketika saya membutuhkannya.
Tiba-tiba saya merasa ada untungnya punya masalah. Karena kalau tidak, saya mungkin masih menganggap adakalanya sebuah takdir itu sebuah kebetulan.

AKU DAN MENULIS

Sebelumnya aku minta maaaaaaaf banget. Aku udah janji bakal posting naskah yang dimuat media selama Ramadhan. Tapi kenyataaannya aku absen posting. Alasannya, karena inetku lagi lelet, dan rada-rada riweuh. Mau posting malem-malem leletnya minta ampun.

To the point yah. Aku menulis fiksi buat media, baru sekitar 2,5 tahun. Sebelumnya aku memang hobi banget menulis di diary. Dari SMP apa ya, udah keranjingan diary. Dalam diary, aku nggak melulu menceritakan diri sendiri. Kadang orang lain, kadang aku berkhayal menjadi orang lain. Kalau orang yang belum kenal aku baik, disangkanya aku mengalami hal-hal seperti yang aku tulis di diary itu. Padahal nggak.

Awalnya, aku nulis fiksi karena iseng. Pas dibaca temenku responnya bagus, dilanjutin deh. Sampai sekarang. Aku nggak punya tips-tips khusus dalam menulis. Selama ini yang aku lakukan adalah:

1. Baca yang banyak. Aku mania membaca dari pertama kali bisa baca. Dan aku justru galau kalau nggak punya stok buku baru. Bagiku, belanja buku sampe berapapun, memuaskan. Tapi beli baju, dan teman-temannya sampe 500 ribu aja, udah kepikiran.

2. Nulis yang rajin. Awal-awal kirim ke media, aku rajin nulis. Sehari satu cerpen. jelek bagus, nggak peduli. Sekarang, aku nulis fiksi kalau emang udah kebayang jelas di kepala. Kalo belum, nggak nulis. Atau kadang nulis juga, tapi nulis hal-hal sepele. Semisal, nulis tentang deskripsi orang-orang yang menurutku menyebalkan. Aku tulis mereka, mulai dari segi fisik, sifat, hingga hobi.

3. Ada target. Minggu ini kirim ke media mana, minggu depan kirim ke mana, gitu.

4. Belajar bagaimana penulis idolaku menulis. Biasanya sih, aku hunting di Twitter, web, atau blog mereka.

5. Sebelum kirim ke media, aku pelajari dulu medianya. Aku nggak mau sekadar tau alamat email, trus langsung nulis. Makanya, jangan pernah nanya alamat email media ke aku. Nggak bakal aku jawab :D. Baca majalahnya. Nggak punya duit buat beli? Numpang baca di lapak majalah or toko buku. Nggak bisa juga? Pinjem. Nggak bisa juga? Berdoa. Biar Tuhan yang bantu.

6. Optimis. Dari dulu aku udah merasa, aku pasti bisa. Bukan bermaksud sombong. Dalam melakukan sesuatu yang aku sukai, aku nggak suka menyerah. Pikirku begini. Hidup cuma sekali. Kenapa aku nggak terus berjuang memaksimalkan apa yang aku sukai? Dan ingat ya, bagi yang muslim nih, Allah SWT sudah berfirman: "Aku sesuai prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Allah, nggak mungkin ingkar janji, bukan? :)


7. Berdoa. Aku sering berdoa agar terus bersemangat menulis, memohon diberi ide-ide bagus.  Dan doa, bagiku, bukan sekadar permintaan di bibir. Kalau aku sudah berdoa, minta semangat, ya aku kudu bersemangat. Kalo aku minta ide, ya aku kudu berusaha nyari ide. Baca, nonton, ngobrol, ngamati orang, dll. Kalo aku berdoa biar dimuat majalah Gadis, ya aku baca dan nulis buat Gadis. 


Udah sih, gitu aja. Simple kan? Cuma butuh kerja keras :).

Wednesday, 1 August 2012

Cerpen ini dimuat Majalah Bravo! Tahun 2011.


SELAI BUATAN STELLA

Bu Thompson adalah seorang janda pembuat selai yang sangat terkenal di Kerajaan Greenland. Ia mempunyai seorang putri cilik bernama Stella. Berbeda dengan Bu Thompson yang hobi memasak, Stella justru tidak menyukai kegiatan masak-memasak. Bagi Stella memasak adalah hal yang rumit dan ia sama sekali  tidak berminat.
Suatu hari Bu Thompson akan pergi ke kota untuk menjenguk adiknya yang baru melahirkan. Ia menyuruh Stella untuk menjaga toko selai miliknya.
“Kalau ada yang pesan selai selain yang ada di sini, tolong suruh dia untuk datang kembali nanti sore ketika Ibu sudah pulang,” jelas Bu Thompson pada Stella. Stella  mengangguk. Akhirnya Bu Thompson berangkat.
Tak lama setelah Bu Thompson pergi, para pembeli sudah ramai berbelanja di toko selai. Tepat menjelang tengah hari selai yang tersisa hanya satu yakni selai nanas. Stella terus menunggu pembeli yang akan membeli selai nanas tersebut.
Tiba-tiba datanglah gerombolan orang berkuda. Salah satu orang yang berkuda turun mendekati Stella.
“Selamat siang, Tuan,” sapa Stella ramah.
“Selamat siang juga, gadis kecil. Bisakah aku membeli sekeranjang selai?” tanya si pemuda berkuda.
“Oh sayang sekali.. Selai yang tersisa tinggal satu toples, Tuan. Ibu sedang pergi. Kalau mau, Anda bisa datang lagi kemari nanti sore. Beliau pasti sudah datang,” papar Stella lembut.
“Kalau begitu, kau harus membuatkannya, Nak.. Karena raja ingin makan selai siang ini juga,” tegas si pemuda berkuda.
Stella melongo tak percaya. “Ehm.. maaf Tuan, saya tidak bisa membuat selai. Biasanya Ibu yang membuat,” ujar Stella.
“Kalau kau menunda sampai nanti sore, berarti kau telah mengecewakan sang raja. Ayo cepat. Buatkan sekarang” perintah pemuda berkuda itu.
Mau tak mau Stella akhirnya mengangguk. Kemudian Stella berpamitan untuk membuat selai di dapur. Setiba di dapur Stella kebingungan. Ia sama sekali tak tahu menahu tentang resep dan tata cara pembuatan selai. Stella melongok ke dalam karung-karung yang berjajar di belakang tungku. Ada sekarung apel, sekarung strawberry, sekarung nanas, sekarung sirsak dan sekarung kelapa.
Stella nekat. Ia mengambil lima belas buah apel, lima buah strawberry, dan lima buah sirsak. Sengaja Stella mengambil ketiga buah tersebut karena mudah dikupas. Setelah semua bahan diambil dagingnya, Stella meletakkannya di dalam alat penghalus terbuat dari kaca yang didalamnya terdapat beberapa pisau kecil. Kemudian bahan-bahan yang sudah halus dimasukkan ke dalam wadah alumunium yang terdapat di atas tungku. Stella mencampur bahan-bahan halus tersebut dengan beberapa cangkir gula, bubuk kayu manis, dan ekstrak vanilla cair yang terdapat di sebuah botol kecil. Kemudian Stella mulai mengaduk.
Setelah bahan-bahan yang dipanaskan tersebut sudah terlihat sedikit kering dan tak berair lagi, Stella mematikan api sambil terus mengaduk selai yang masih panas supaya cepat dingin. Selanjutnya, ia memasukkan selai yang sudah dingin ke dalam toples-toples kecil. Lalu Stella mengambil keranjang hias dan meletakkan beberapa toples selai ke dalam keranjang tersebut dan membawanya keluar.
“Nah, Tuan, selai telah saya buat. Saya tidak tahu apakah selai buatan saya ini cocok untuk baginda raja. Bila memang nanti baginda raja kecewa dengan rasanya, saya mohon maaf,” ujar Stella.
“Baiklah, Nak.. Kami bawa dulu selai buatanmu ini,” kata si pemuda utusan raja .
Keesokan harinya, Bu Thompson dikejutkan dengaan kedatangan seorang utusan raja yang mencari Stella.
“Kemarin anak ibu membuatkan selai untuk raja. Sekarang, tolong panggil dia,” perintah utusan raja pada Bu Thompson.
“Ya Tuhan Stella! Pasti rasa selai itu kacau.Oh tidak!Stella!! Stella!!” teriak Bu Thompson panik. Stella datang.
“Stella, kau dicari utusan raja, Nak. Kau pasti telah membuat selai yang aneh,” ujar Bu Thompson khawatir. Stella sedikit takut.
“Ada apa, tuan?” tanya Stella pada utusan raja.
“Kau telah mengecewakan raja, Nak,”
“Benarkah? Maafkan saya, Tuan. Saya tidak bermaksud mempermainkan Baginda Raja,” tutur Stella terisak.
“Raja kecewa karena kau hanya membuat selai beberapa toples. Raja kurang puas. Bisakah kami membeli selaimu lagi?”
“Oh!!!” Stella memekik tertahan lalu menghambur memeluk Bu Thompson.
“Kau hebat, Stella. Kau memang anak berbakat,” bisik Bu Thompson bangga.
Stella melepaskan pelukannya. “Baiklah saya akan membuat selai yang banyak untuk raja,” ujar Stella.
Sejak saat itulah selai buatan Stella  menjadi terkenal seperti selai buatan ibunya.







JAGA KECANTIKAN DIRI, JAGA LINGKUNGAN

Jerawatan? Wajah kusam? Itu adalah masalah kulit saya sejak SMA. Kalau cuma kusam masih lumayan lah. Yang membuat tidak percaya diri adalah ...