Puisi ini ada dalam buku MAKE YOURSELF UNFORGETTABLE by Dale Carnegie Training, terbitan Gramedia. Gara-gara baca puisi di bab Pendahuluan, akhirnya aku memutuskan membeli buku ini. Ini dia:
******************************************************************
Bila kau bisa tetap menegakkan kepala ketika semua orang di sekitarmu
Tak dapat melakukannya dan mereka menyalahkanmu;
Bila kau bisa menaruh kepercayaan pada dirimu ketika semua orang meragukanmu,
Tetapi kau juga memperkenankan keraguan mereka;
Bila kau bisa menunggu dan tidak lelah menunggu,
Atau, dibohongi, tapi tidak berbohong,
Atau, dibenci, tapi tidak membenci,
Namun kau tidak tampak terlalu baik, dan berbicara dengan bijak:
Bila kau bisa bermimpi--tapi tidak diperbudak mimpimu;
Bila kau bisa berpikir--tapi tidak menjadikan pikiranmu sebagai tujuanmu;
Bila kau bisa menghadapi Kemenangan dan Bencana
Dan memperlakukan kedua penipu ini setara
Bila kau mampu mendengar kebenaran yang kau ucapkan
Dipelintir oleh para bajingan untuk membuat perangkap bagi orang bodoh
Atau melihat hal-hal yang kau curahkan untuk kehidupanmu menjadi hancur,
Dan membungkuk dan membangunnya dengan alat-alat usang;
Bila kau bisa membuat semua kemenangan menjadi satu tumpukan
Dan merisikokannya pada sebuah permainan lontaran-dan-lemparan,
Dan kalah, dan memulai lagi dari awal,
Dan tak pernah mengucapkan sepatah kata pun tentang kekalahanmu;
Melayani giliranmu jauh setelah semua itu tiada
Dan terus bertahan ketika tidak ada sesuatu dalam dirimu
Kecuali Kemauan yang mengatakan padanya: "Bertahanlah";
Bila kau bisa berbicara dengan kerumunan orang
dan mempertahankan kebajikanmu,
Atau berjalan dengan para Raja--dan tidak kehilangan sentuhan umum;
Bila baik musuh maupun teman tak dapat menyakitimu;
Bila semua orang berhitung bersamamu, tapi tidak terlalu banyak;
Bila kau bisa mengisi menit yang tidak kenal ampun
Dengan berlari jauh selama enam puluh detik,
Dunia dan seluruh isinya kan menjadi milikmu,
Dan--lebih dari itu--kau akan menjadi Manusia dewasa, putraku!
*****************************************************
Saturday, 11 August 2012
Monday, 6 August 2012
Cerpen ini dimuat Tabloid Gaul tahun 2010.
WAJAH MERRY MENGALIHKAN DUNIA JOKO
Joko
berlari sekuat tenaga mencari tempat berteduh. Hujan plus petir menyerang bumi secara mendadak. Beberapa orang yang
nggak siap akan serangan langit itu pontang-panting panik. Termasuk Joko salah
satunya. Joko sih udah biasa ama yang namanya hujan deres begitu. Tapi karena
malam ini dia abis pulang OSPEK, bawa segepok kertas plus kardus buat tugas
besok, jadinya dia musti water resistant,
agar barang bawaannya nggak basah kena hujan. Makanya dia lari sprint dengan kekuatan maksimal kayak
dikejar anjing yang terjangkit Rabies.
Fiuh…
Akhirnya Joko tiba di sebuah halte. Nafasnya ngos-ngosan seperti abis nguli
beras. Joko ngecek barang-barangnya. Rada basah. Tapi bagi Joko nggak masalah.
Bisa dikeringin pake angin hairdryer
mamanya ntar malem.
Joko
memperhatikan jalanan yang bersimbah guyuran hujan. Pandangannya sedikit buram.
Ia mencopot kacamata minusnya, lalu mengelapnya dengan ujung kemejanya yang
udah keluar dari ikat pinggang. Setelah dirasa cukup, Joko memakainya lagi.
Masih sama. Tetep aja pandangannya nggak terlalu jelas. Kacamata Joko emang
udah waktunya ganti seminggu lalu. Minusnya kan nambah. Tapi dia males ke toko
optik.
Dua
jam berlalu. Hujan masih belum juga berhenti. Padahal Joko pengen cepet tiba di
rumah biar bisa ngerjain tugas-tugas OSPEK-nya. Joko ambil nafas panjang. Menunggu
emang membosankan. Tiba-tiba seseorang menyenggolnya lengannya. Reflek Joko
noleh.
Alamak!!
Cantik banget. Hati Joko langsung bernyanyi. Ketika, kau lewati.. Bumi tempat ku berdiri.. Kedua mata ini.. Tak
berkedip.. Menatapi.. Pesona, indah wajahmu.. Mampu mengalihkan duniakuuuu.. Joko
terpana.
“Maaf
nggak sengaja,” ujar cewek itu lirih sembari tersenyum malu-malu.
Ya
ampun! Badan Joko kaku bak abis disambar petir. Cewek yang nyenggol lengannya
itu tinggi, langsing, pake sweater biru muda, rok coklat hingga di bawah lutut,
trus pake sepatu boot feminin ijo tua. Tak lupa ia melilitkan scarf ijo muda di
lehernya. Rambutnya dimodel curly, wajahnya seputih salju. Wow! Persis kayak
cewek-cewek Korea.
“Maaf
ya, Mas.. Beneran nggak sengaja,” ulang cewek itu lagi. Mungkin karena Joko
melototin dia tanpa kedip.
“Eh.
Iya.. Nggak pa pa kok,” Joko gelagapan.
Cewek
itu tersenyum lagi. Lalu ia membuka payung warna transparan, siap-siap pergi
dari halte. Joko nggak mau buang kesempatan.
“Mbak,
masih ujan lho. Kok udah mau pergi?” Joko berusaha nahan.
“Nggak
pa pa, Mas.. Kan pake payung,” kilahnya lembut.
Iiiihhh!
Joko makin geregetan dibuatnya. “Ya udah, aku temenin mau? Soalnya rawan juga
ujan-ujan gini jalan sendiri. Udah malem pula,” Joko nyoba nawarin bantuan.
Biasalah ada udang di balik nasi goreng.
“Mmm,
tapi kita kan belum kenal,” pancing cewek itu.
Joko
cengar-cengir. Umpan cewek itu tertangkap jelas oleh otaknya. Joko ngulurin
tangan.
“Namaku
Joko. Joko Kuntonegoro,” ucapnya medok.
Merry
menyambut tangan Joko. “Merry. Merry Gisella.”
Tangan
Merry dirasa bagai porselen Cina bagi Joko. “Nah, Merry. Kita pergi sekarang
yuuukk,” Joko udah nggak sabar.
Merry
mengangguk. Joko ngambil alih payung Merry. Dia udah nggak peduli lagi dengan
kardus dan kertasnya yang bakal kecipratan kena air. Joko tetep nekat nerobos
hujan walaupun pandangannya udah buram. Pokoknya, otak Joko udah teralih
gara-gara ngeliat Merry. Persis lanjutan lagu Afgan yang tadi bersenandung di
hatinya. Wajah Merry mengalihkan dunia Joko.
“Kita
udah nyampe,” kata Merry lirih.
Joko
bingung. Di situ nggak ada rumah. Adanya cafe, pub, ama toko.
“Emang
kamu mau kemana, Mer? Bukannya pulang?” tanya Joko heran.
Merry
tersenyum manis. “Aku kan kerja paruh waktu di Fantastic Pub ini,” Merry
menunjuk sebuah pub di hadapan mereka.
Joko
manggut-manggut. “Ooo. Ya udah deh. Met kerja ya. Emm, Mer.. Besok-besok, boleh
nggak aku nemuin kamu di sini?”
“Boleh.
Asal nggak lagi kerja. Aku tunggu ya. Makasih udah nganterin,” balas Merry
manja.
Merry
pun masuk. Joko mengepalkan tangannya ke udara. Yess!! pekiknya. Hatinya
bahagia tak terkira. Maklum, tiga hari yang lalu, Risti, mantannya, mutusin
Joko tanpa alasan. Joko nelangsa sampe nggak makan dua hari. Usut punya usut,
ternyata Riski selingkuh ama Roy, sahabat karib Joko. Katanya sih, Risti udah
nggak tahan ama Joko. Sebab Joko kerap nanya ini itu kalo jalan bareng. Dia kan
minusnya udah delapan. Tapi ogah ganti kacamata. Lama-lama Risti gerah. Akhirnya,
udah deh.. Joko ditinggal selingkuh. Untung sekarang Joko udah nemu calon
pengganti Risti. Jadi dia udah nggak sedih lagi.
Hujan
mulai mereda. Joko berjalan menyusuri trotoar. Bayangan Merry Gisella
berkelebat-kelebat di benaknya. Joko senyam-senyum sendiri kayak orang sinting.
Tapi pas otaknya menampilkan wajah Risti, Joko misuh-misuh sendiri. Sampe orang
yang lalu lalang di situ pada ngerutin kening ngeliat tingkah Joko. Mendadak ia
ingat sesuatu yang nggak kalah serem dibandingkan perlakuan Risti kepadanya.
Tangan Joko telah memegangnya sekarang. Apa itu? Kardus plus kertas-kertas Joko
ternyata basah kuyup. Itu berarti ia kesulitan nyelesein tugasnya. Kalo besok
sampe blom beres, ia bakal dihukum nyabutin rumput selapangan bola sehari
penuh. Hadeeehh! Joko megangin kepalanya. Tiba-tiba aja dia ngerasa pening
tujuh keliling.
oOo
Saking
getolnya mikirin Merry, Joko ampe nggak konsen nyabutin rumput lapangan. Kadang
batu pun ia congkel dari tanah. Joko kepingin banget ketemu Merry lagi. Tapi
gimana caranya? Kan lagi OSPEK. Tugasnya bejibun. Joko nggak bisa kelayapan
malem-malem. Hmm. Joko peras otak. Tiba-tiba.. Ting! Sebuah ide gila nan edan terlintas dalam benaknya.
Joko
berhenti nyabut rumput. Ia memejamkan mata sambil megangin kepalanya. Joko
nyoba berdiri. Tapi kedua kakinya goyah. Tak lama kemudian ia terhuyung, lalu
terjerembab ke tanah.
Salah
seorang senior yang kebetulan ngeliat langsung teriak-teriak sambil
nunjuk-nunjuk Joko. Beberapa panitia OSPEK pun lari pontang-panting menuju
lapangan. Tubuh Joko digotong rame-rame. Mereka membawanya ke ruang kesehatan.
Kakak-kakak senior mulai bicarain dia.
“Dia
pingsan. Waduh.. Gimana nih?”
“Kasih
minyak kayu putih.”
“Ah!
Jangan! Hemat biaya. Dananya blom turun semua. Biar aku tempelin kaos kakiku
aja. Ini udah seminggu lebih nggak dicuci. Pasti cepet sadar.”
Glek!
Joko yang pura-pura pingsan nelen ludah panik. Belum sempat Joko mikir,
mendadak.. Plek! Bau ikan asin busuk
membekap hidungnya. Joko langsung melotot. Nafasnya megap-megap.
“Nah..
Tuh kan langsung siuman,” kata mas si pemilik kaos kaki.
Joko
sok linglung. Ia memperhatikan sekitarnya dengan wajah bingung.
“Dik..
Tadi kamu pingsan.. Mm, saran kami, sebaiknya adik pulang aja. Kalo perlu besok
nggak usah masuk deh. Tunggu sampe bener-bener sehat,” kata salah satu mbak
senior.
Yippie!
Hati Joko bersorak girang. Taktiknya berhasil. Kelebat wajah Merry lagi-lagi
menghinggapi benaknya. Oh Merry. Tunggulah kedatanganku,” bisik Joko.
oOo
“Merry!” panggil Joko.
Merry
yang hendak masuk ke halaman Fantastic Pub and Café langsung menghentikan
langkah. Wajahnya tampak sumringah melihat kehadiran Joko. Walaupun udara nggak
terlalu dingin, Merry tetep aja pake scarf ama rok panjang. Tapi kali ini warnanya
ungu. Scarfnya warna pink. Membuatnya makin kliatan fresh.
“Haiiii,
Jok,” sapanya lembut.
“Aku
mau ketemu kamu. Pengen ngobrol-ngobrol.”
“Mmm..
Kalo lagi kerja, nggak bisa. Sorry.”
“Kalo
maen ke tempatmu bisa kan? Besok siang, ada?”
“Boleh
dong. Alamatnya, Jalan Kenanga Putih nomer satu lima enam. Ada pohon mangganya
di halaman. Aku tunggu,” sahut Merry kenes.
“Oke
deh kalo gitu. Sampe ketemu besok ya, Mer.”
Merry
mengangguk sambil mengulas senyum. Duh Gusti. Kapan aku bisa jadi pacarnya,
batin Joko gemes.
oOo
Sesuai
perjanjiannya dengan Merry, siang ini Joko udah siap-siap mau berangkat. Rambut
dimodel jabrik. Celana ama kaosnya disetrika sampe licin pake pewangi. Ia
nyemprotin parfum berulang kali ke badannya. Tak lupa Joko memakai kacamata
barunya. Tadi malem ia bela-belain dateng ke optik. Ganti kacamata baru. Dengan
kacamata itu, Joko berharap bisa ngeliat wajah Merry sejelas-jelasnya.
Setelah
dandan kurang lebih setengah jam, Joko mengeluarkan motor. Ia berangkat seraya
bersiul-siul riang. Akhirnya motor Joko udah memasuki Jalan Kenanga. Joko
tolah-toleh, nyari nomer satu lima enam.
“Satu
lima empat. Satu lima lima.. Satu lima… Nah. Ini dia. Itu pohon Mangganya,”
gumam Joko.
Joko
turun dari motor. Ia menghampiri pagar, memencet bel. Joko menunggu beberapa
saat. Sambil nunggu, ia mengamati sekitarnya. Sepi. Joko khawatir Merry nggak
ada. Pas mau mencet bel lagi, mata Joko menangkap sesuatu. Sebuah papan kecil
bertuliskan TERIMA KOS PUTRA terpasang di pagar. Joko garuk-garuk kepala. Ia
ragu Merry beneran tinggal di situ.
Joko
mencet bel sekali lagi. Beberapa saat kemudian, seorang cowok keluar.
“Cari
siapa, Mas?” tanyanya.
“Merry
ada?”
Cowok
itu mengernyitkan dahi. “Merry? Merry siapa ya?”
“Eng..
Merry Gisella. Yang kerja di Fantastic Pub and Café.”
Cowok
itu diem sejenak. “Oh, Joko maksudnya?”
Hah?
Joko bengong. Ia nggak ngeh maksud cowok itu. Yang bernama Joko kan dia.
“Bukan.
Merry. Anaknya tinggi, putih, kerja di Fantastic Pub,” Joko ngotot.
Cowok
itu senyam-senyum. “Mas. Dia itu Joko. Kalo malem jadi Merry. Mas langganan dia
ya?” goda cowok itu.
Di
saat yang sama, sosok cowok berkulit putih, cakep, kurus, rambutnya masih curly, muncul.
“Ini
dia. Jok.. Dicari langgananmu tuh. Laris banget,” kata cowok tadi.
What?
Joko terbelalak. Cowok yang dipanggil Joko tadi emang berwajah cantik. Persis
Merry. Tapi pas pandangan Joko turun, alamak!! Jakunnya segede Kedondong.
Dadanya rata kayak papan. Betisnya kesebalasan gitu. Joko nelen ludah.
“Hai.
Masuk yuk. Aku sekamar sendiri kok. Yuk,” ajak Joko banci alias Merry.
Joko
menggeleng panik. Ia cepet-cepet putar badan, ngidupin motor, lalu langsung
ngacir dari situ. Ya Tuhan!! Joko berulangkali nyebut sepanjang jalan. Ia
teringat dengan scarf yang selalu
melilit di leher Merry. Ternyata itu buat nyembunyiin jakunnya. Dan rok panjangnya,
buat ngelabuhin betisnya.
“Untung
udah ganti kacamata. Jadi bisa liat jelas tadi. Kalo nggak… Hiii!” Joko komat-kamit
sembari bergidik ngeri. Nggak sanggup ngebayangin kejadian selanjutnya.
Sunday, 5 August 2012
Naskah ini dimuat di Rubrik Kata Hati Majalah Sekar bulan Juni 2012
KEBETULAN
Saya
sudah sering mendengar berkali-kali bahwa tidak ada kejadian yang kebetulan.
Semua sudah di-design yang Maha
Kuasa, semua sudah ditakdirkan. Tapi kadang kalau pikiran lagi sesak dan suntuk
tak karuan, kalimat bijak seperti di atas sering saya lupakan.
Suatu
hari saya iseng ikut kuis berhadiah buku di Twitter dan “kebetulan” menang.
Sebagai penggemar buku fantasi dan thriller,
terus terang saya agak kecewa karena hadiahnya bukan buku yang saya harapkan.
Buku tersebut bercerita mengenai kisah pemuda yatim piatu di Korea pada abad
ke-12.
Setelah
buku itu sampai ke tangan saya, saya tidak mau bersusah payah segera menyampuli.
Padahal biasanya kalau dapat buku baru, saya langsung konsentrasi pasang
sampul. Berminggu-minggu, saya belum tertarik membaca buku bercover sungai dan anak kecil tengah
memungut pecahan keramik itu.
Di
suatu pagi, saya bangun dengan perasaan kacau. Saya agak depressed karena ada masalah yang saya sendiri tidak tahu jalan
keluarnya. Waktu itu masih subuh, jadi saya
segera solat dan berdoa. Saat berdoa, saya tumpahkan segala beban saya.
Istilahnya “curhat” pada Tuhan. Lepas berdoa, pikiran saya mulai sedikit
rileks.
Saya
terdiam beberapa saat. Tiba-tiba tatapan saya tertumbuk pada buku A Single
Shard, buku hadiah yang saya menangkan di Twitter. Tangan saya terulur
mengambil, lalu mulai membaca. Halaman demi halaman saya lalap dengan takjub.
Dan saya benar-benar terpaku di halaman 45. Ada kalimat: “…, sungguh sia-sia
jika kita menghabiskan waktu untuk bersedih karena sesuatu yang tidak dapat
kita ubah.” Seketika itu pula, saya merasa plong.
Saya pun mulai bersemangat.
Setelah
menutup buku tersebut, saya mulai yakin. Bahwa buku itu, sampai ke tangan saya,
bukan karena kebetulan. Saya menang kuis juga bukan kebetulan. Buku itu bukan
buku fantasi atau thriller, juga
bukan kebetulan. Buku tersebut sudah ditakdirkan Tuhan untuk saya, karena Dia
tahu suatu ketika saya membutuhkannya.
Tiba-tiba
saya merasa ada untungnya punya masalah. Karena kalau tidak, saya mungkin masih
menganggap adakalanya sebuah takdir itu sebuah kebetulan.
AKU DAN MENULIS
Sebelumnya aku minta maaaaaaaf banget. Aku udah janji bakal posting naskah yang dimuat media selama Ramadhan. Tapi kenyataaannya aku absen posting. Alasannya, karena inetku lagi lelet, dan rada-rada riweuh. Mau posting malem-malem leletnya minta ampun.
To the point yah. Aku menulis fiksi buat media, baru sekitar 2,5 tahun. Sebelumnya aku memang hobi banget menulis di diary. Dari SMP apa ya, udah keranjingan diary. Dalam diary, aku nggak melulu menceritakan diri sendiri. Kadang orang lain, kadang aku berkhayal menjadi orang lain. Kalau orang yang belum kenal aku baik, disangkanya aku mengalami hal-hal seperti yang aku tulis di diary itu. Padahal nggak.
Awalnya, aku nulis fiksi karena iseng. Pas dibaca temenku responnya bagus, dilanjutin deh. Sampai sekarang. Aku nggak punya tips-tips khusus dalam menulis. Selama ini yang aku lakukan adalah:
1. Baca yang banyak. Aku mania membaca dari pertama kali bisa baca. Dan aku justru galau kalau nggak punya stok buku baru. Bagiku, belanja buku sampe berapapun, memuaskan. Tapi beli baju, dan teman-temannya sampe 500 ribu aja, udah kepikiran.
2. Nulis yang rajin. Awal-awal kirim ke media, aku rajin nulis. Sehari satu cerpen. jelek bagus, nggak peduli. Sekarang, aku nulis fiksi kalau emang udah kebayang jelas di kepala. Kalo belum, nggak nulis. Atau kadang nulis juga, tapi nulis hal-hal sepele. Semisal, nulis tentang deskripsi orang-orang yang menurutku menyebalkan. Aku tulis mereka, mulai dari segi fisik, sifat, hingga hobi.
3. Ada target. Minggu ini kirim ke media mana, minggu depan kirim ke mana, gitu.
4. Belajar bagaimana penulis idolaku menulis. Biasanya sih, aku hunting di Twitter, web, atau blog mereka.
5. Sebelum kirim ke media, aku pelajari dulu medianya. Aku nggak mau sekadar tau alamat email, trus langsung nulis. Makanya, jangan pernah nanya alamat email media ke aku. Nggak bakal aku jawab :D. Baca majalahnya. Nggak punya duit buat beli? Numpang baca di lapak majalah or toko buku. Nggak bisa juga? Pinjem. Nggak bisa juga? Berdoa. Biar Tuhan yang bantu.
6. Optimis. Dari dulu aku udah merasa, aku pasti bisa. Bukan bermaksud sombong. Dalam melakukan sesuatu yang aku sukai, aku nggak suka menyerah. Pikirku begini. Hidup cuma sekali. Kenapa aku nggak terus berjuang memaksimalkan apa yang aku sukai? Dan ingat ya, bagi yang muslim nih, Allah SWT sudah berfirman: "Aku sesuai prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Allah, nggak mungkin ingkar janji, bukan? :)
7. Berdoa. Aku sering berdoa agar terus bersemangat menulis, memohon diberi ide-ide bagus. Dan doa, bagiku, bukan sekadar permintaan di bibir. Kalau aku sudah berdoa, minta semangat, ya aku kudu bersemangat. Kalo aku minta ide, ya aku kudu berusaha nyari ide. Baca, nonton, ngobrol, ngamati orang, dll. Kalo aku berdoa biar dimuat majalah Gadis, ya aku baca dan nulis buat Gadis.
Udah sih, gitu aja. Simple kan? Cuma butuh kerja keras :).
To the point yah. Aku menulis fiksi buat media, baru sekitar 2,5 tahun. Sebelumnya aku memang hobi banget menulis di diary. Dari SMP apa ya, udah keranjingan diary. Dalam diary, aku nggak melulu menceritakan diri sendiri. Kadang orang lain, kadang aku berkhayal menjadi orang lain. Kalau orang yang belum kenal aku baik, disangkanya aku mengalami hal-hal seperti yang aku tulis di diary itu. Padahal nggak.
Awalnya, aku nulis fiksi karena iseng. Pas dibaca temenku responnya bagus, dilanjutin deh. Sampai sekarang. Aku nggak punya tips-tips khusus dalam menulis. Selama ini yang aku lakukan adalah:
1. Baca yang banyak. Aku mania membaca dari pertama kali bisa baca. Dan aku justru galau kalau nggak punya stok buku baru. Bagiku, belanja buku sampe berapapun, memuaskan. Tapi beli baju, dan teman-temannya sampe 500 ribu aja, udah kepikiran.
2. Nulis yang rajin. Awal-awal kirim ke media, aku rajin nulis. Sehari satu cerpen. jelek bagus, nggak peduli. Sekarang, aku nulis fiksi kalau emang udah kebayang jelas di kepala. Kalo belum, nggak nulis. Atau kadang nulis juga, tapi nulis hal-hal sepele. Semisal, nulis tentang deskripsi orang-orang yang menurutku menyebalkan. Aku tulis mereka, mulai dari segi fisik, sifat, hingga hobi.
3. Ada target. Minggu ini kirim ke media mana, minggu depan kirim ke mana, gitu.
4. Belajar bagaimana penulis idolaku menulis. Biasanya sih, aku hunting di Twitter, web, atau blog mereka.
5. Sebelum kirim ke media, aku pelajari dulu medianya. Aku nggak mau sekadar tau alamat email, trus langsung nulis. Makanya, jangan pernah nanya alamat email media ke aku. Nggak bakal aku jawab :D. Baca majalahnya. Nggak punya duit buat beli? Numpang baca di lapak majalah or toko buku. Nggak bisa juga? Pinjem. Nggak bisa juga? Berdoa. Biar Tuhan yang bantu.
6. Optimis. Dari dulu aku udah merasa, aku pasti bisa. Bukan bermaksud sombong. Dalam melakukan sesuatu yang aku sukai, aku nggak suka menyerah. Pikirku begini. Hidup cuma sekali. Kenapa aku nggak terus berjuang memaksimalkan apa yang aku sukai? Dan ingat ya, bagi yang muslim nih, Allah SWT sudah berfirman: "Aku sesuai prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Allah, nggak mungkin ingkar janji, bukan? :)
7. Berdoa. Aku sering berdoa agar terus bersemangat menulis, memohon diberi ide-ide bagus. Dan doa, bagiku, bukan sekadar permintaan di bibir. Kalau aku sudah berdoa, minta semangat, ya aku kudu bersemangat. Kalo aku minta ide, ya aku kudu berusaha nyari ide. Baca, nonton, ngobrol, ngamati orang, dll. Kalo aku berdoa biar dimuat majalah Gadis, ya aku baca dan nulis buat Gadis.
Udah sih, gitu aja. Simple kan? Cuma butuh kerja keras :).
Wednesday, 1 August 2012
Cerpen ini dimuat Majalah Bravo! Tahun 2011.
SELAI
BUATAN STELLA
Bu Thompson adalah seorang janda
pembuat selai yang sangat terkenal di Kerajaan Greenland. Ia mempunyai seorang
putri cilik bernama Stella. Berbeda dengan Bu Thompson yang hobi memasak,
Stella justru tidak menyukai kegiatan masak-memasak. Bagi Stella memasak adalah
hal yang rumit dan ia sama sekali tidak
berminat.
Suatu hari Bu Thompson akan pergi ke
kota untuk menjenguk adiknya yang baru melahirkan. Ia menyuruh Stella untuk
menjaga toko selai miliknya.
“Kalau ada yang pesan selai selain
yang ada di sini, tolong suruh dia untuk datang kembali nanti sore ketika Ibu
sudah pulang,” jelas Bu Thompson pada Stella. Stella mengangguk. Akhirnya Bu Thompson berangkat.
Tak lama setelah Bu Thompson pergi,
para pembeli sudah ramai berbelanja di toko selai. Tepat menjelang tengah hari
selai yang tersisa hanya satu yakni selai nanas. Stella terus menunggu pembeli
yang akan membeli selai nanas tersebut.
Tiba-tiba datanglah gerombolan orang
berkuda. Salah satu orang yang berkuda turun mendekati Stella.
“Selamat siang, Tuan,” sapa Stella
ramah.
“Selamat siang juga, gadis kecil.
Bisakah aku membeli sekeranjang selai?” tanya si pemuda berkuda.
“Oh sayang sekali.. Selai yang tersisa
tinggal satu toples, Tuan. Ibu sedang pergi. Kalau mau, Anda bisa datang lagi
kemari nanti sore. Beliau pasti sudah datang,” papar Stella lembut.
“Kalau begitu, kau harus
membuatkannya, Nak.. Karena raja ingin makan selai siang ini juga,” tegas si
pemuda berkuda.
Stella melongo tak percaya. “Ehm..
maaf Tuan, saya tidak bisa membuat selai. Biasanya Ibu yang membuat,” ujar
Stella.
“Kalau kau menunda sampai nanti sore,
berarti kau telah mengecewakan sang raja. Ayo cepat. Buatkan sekarang” perintah
pemuda berkuda itu.
Mau tak mau Stella akhirnya
mengangguk. Kemudian Stella berpamitan untuk membuat selai di dapur. Setiba di
dapur Stella kebingungan. Ia sama sekali tak tahu menahu tentang resep dan tata
cara pembuatan selai. Stella melongok ke dalam karung-karung yang berjajar di
belakang tungku. Ada sekarung apel, sekarung strawberry, sekarung nanas,
sekarung sirsak dan sekarung kelapa.
Stella nekat. Ia mengambil lima belas
buah apel, lima buah strawberry, dan lima buah sirsak. Sengaja Stella mengambil
ketiga buah tersebut karena mudah dikupas. Setelah semua bahan diambil
dagingnya, Stella meletakkannya di dalam alat penghalus terbuat dari kaca yang
didalamnya terdapat beberapa pisau kecil. Kemudian bahan-bahan yang sudah halus
dimasukkan ke dalam wadah alumunium yang terdapat di atas tungku. Stella
mencampur bahan-bahan halus tersebut dengan beberapa cangkir gula, bubuk kayu
manis, dan ekstrak vanilla cair yang terdapat di sebuah botol kecil. Kemudian
Stella mulai mengaduk.
Setelah bahan-bahan yang dipanaskan
tersebut sudah terlihat sedikit kering dan tak berair lagi, Stella mematikan
api sambil terus mengaduk selai yang masih panas supaya cepat dingin.
Selanjutnya, ia memasukkan selai yang sudah dingin ke dalam toples-toples
kecil. Lalu Stella mengambil keranjang hias dan meletakkan beberapa toples
selai ke dalam keranjang tersebut dan membawanya keluar.
“Nah, Tuan, selai telah saya buat.
Saya tidak tahu apakah selai buatan saya ini cocok untuk baginda raja. Bila
memang nanti baginda raja kecewa dengan rasanya, saya mohon maaf,” ujar Stella.
“Baiklah, Nak.. Kami bawa dulu selai
buatanmu ini,” kata si pemuda utusan raja .
Keesokan harinya, Bu Thompson
dikejutkan dengaan kedatangan seorang utusan raja yang mencari Stella.
“Kemarin anak ibu membuatkan selai
untuk raja. Sekarang, tolong panggil dia,” perintah utusan raja pada Bu
Thompson.
“Ya Tuhan Stella! Pasti rasa selai itu
kacau.Oh tidak!Stella!! Stella!!” teriak Bu Thompson panik. Stella datang.
“Stella, kau dicari utusan raja, Nak.
Kau pasti telah membuat selai yang aneh,” ujar Bu Thompson khawatir. Stella
sedikit takut.
“Ada apa, tuan?” tanya Stella pada
utusan raja.
“Kau telah mengecewakan raja, Nak,”
“Benarkah? Maafkan saya, Tuan. Saya
tidak bermaksud mempermainkan Baginda Raja,” tutur Stella terisak.
“Raja kecewa karena kau hanya membuat
selai beberapa toples. Raja kurang puas. Bisakah kami membeli selaimu lagi?”
“Oh!!!” Stella memekik tertahan lalu
menghambur memeluk Bu Thompson.
“Kau hebat, Stella. Kau memang anak
berbakat,” bisik Bu Thompson bangga.
Stella melepaskan pelukannya. “Baiklah
saya akan membuat selai yang banyak untuk raja,” ujar Stella.
Sejak saat itulah selai buatan
Stella menjadi terkenal seperti selai
buatan ibunya.
JAGA KECANTIKAN DIRI, JAGA LINGKUNGAN
Jerawatan? Wajah kusam? Itu adalah masalah kulit saya sejak SMA. Kalau cuma kusam masih lumayan lah. Yang membuat tidak percaya diri adalah ...

-
Judul : Sang Juara Penulis : Al Kadri Johan Penerbit : Republika (Lini Anak dan Remaja ALIF) Tebal : 198 halaman Terbit : Se...
-
Dulu, ketika masih kecil, almarhumah ibu saya kerap mengolesi rambut dan kulit kepala saya dengan lidah buaya. Biar rambut saya bagu...
-
KERUPUK CUMI VANIA Vania duduk sedih di toko kerupuknya. Tak ada satu pembeli pun yang berbelanja di tokonya. Dagangan Vania kalah l...