RIVALKU
ATASANKU
Apa?
Pindah ke Departemen Pemasaran Divisi Biskuit? Tenang. Jangan shock dulu. Ini
bukan perkara sulit kok. Malah lebih bagus lagi karena siapa tahu nantinya yang
duduk di kursi Brand Manager itu adalah.. Ya. Aku. Walaupun entah harus menunggu
berapa tahun lagi. Tapi kalau mulai minggu depan aku harus pindah ke sana,
rasanya aku ingin berteriak sekeras-kerasnya.
Bayangkan.
Aku akan satu ruangan dengan Miss
Snatcher yang menurutku tidak cantik tapi merasa cantik. Bukan hanya itu,
karena dia yang berada di “hot seat”
brand manager, maka bisa dipastikan akulah yang jadi kacungnya. Astaga!
Bagaimana mungkin aku bisa tahan dengan perempuan yang telah menjambret
(makanya kusebut dia Snatcher) pacarku itu hingga membuat kami jadi batal
bertunangan dan aku jadi jomblo merana begini. Apalagi dia akan jadi atasanku.
Diam-diam
aku menyesal mati-matian menyuguhkan performance
kerja yang bagus. Seandainya aku tidak terlalu workaholic, mungkin sampai bulan depan pun aku akan berada di bilik
Departemen Purchasing. Aku memang jomblo merana tapi setidaknya aku tak perlu
berlama-lama menatap rivalku yang jelas-jelas menang. Mendadak terlintas di
kepalaku, Miss Snatcher duduk anggun
seraya mengobrol atau mungkin bermesraan dengan Erik, mantanku. Ulu hatiku serasa
ditusuk-tusuk.
“Udah,
La. Nggak usah terlalu dipikirin. Vika nggak seburuk yang kamu bayangkan kok,”
Ratna muncul tanpa kusadari dari balik pintu toilet, berusaha menghiburku.
Selama ini, dia memang partner yang seringkali kujadikan tempat berkeluh kesah.
“Aku
nggak mikirin kok. Cuma kepingin cuci muka aja makanya ke sini,” elakku.
Entahlah. Saat ini aku malas mengurai kegelisahanku.
“Syukurlah
kalau kamu siap. Jangan sampai nanti air matamu meleleh kalo Erik datang ke
ruangan Vika. Atau kalau pas mereka lagi telpon-telponan. Gengsi dong.”
Aku
mengangguk mantap. “Hubunganku dan Erik kan udah berakhir, Rat. Ngapain harus
nangis-nangis lagi,” aku berusaha tersenyum.
Ratna
menatapku penuh selidik, kedua matanya menyipit. “Yakin?” Ia mencoba
memastikan.
“Yakin!”
balasku mantap. Tiba-tiba saja hatiku juga ikut mantap. Tak ada yang perlu
ditakutkan di ruangan Marketing. Aku akan menghasilkan ide-ide yang brilian
untuk mendukung brand equity yang
ditangani Vika. Bisa jadi dia akan mempromosikanku naik jabatan. Mungkin Ratna
benar. Dia tak seburuk yang kukira, meskipun aku tahu fakta kalau dia pernah
jadi Miss Snatcher. Tapi siapa tahu Vika akan memperlakukanku dengan baik. Tapi,
eng.. Benarkah??
oOo
Sisa
hari setelah Senin berlalu secepat angin. Tahu-tahu sudah hari Senin lagi.
Mood-ku kacau balau menjelang berangkat ke kantor. Aku sudah bersiap sejak
pukul lima pagi. Memilih baju, aksesoris, tas, warna lisptik dan eyeshadow yang
bagus dan cocok. Aku tak mau terlihat kalah keren di mata Vika. Sebagai seorang
Brand Manager, sehari-hari Vika berusaha agar selalu tampak berkilau di kantor.
Pantas saja Erik lebih tahan pacaran sama dia daripada aku yang memang cuek
dalam berpenampilan. Jarang sekali aku meluangkan waktu demi mencocokkan baju
dengan tas atau make up. Karena menurutku, itu hanya buang-buang tenaga saja.
Vika
sudah bersilang kaki di balik meja begitu aku masuk. Tumben dia datang lebih
awal? Jangan-jangan, dia sengaja merencanakan kegiatan ploncoan layaknya penerimaan
mahasiswa baru dan menungguku untuk dikerjai. Oh, sial! Harusnya aku tadi tidak
hanya memasukkan lipstik ke dalam tas. Tapi juga pemukul kasti. Jadi bila dia
mulai cari gara-gara, aku bisa menyabetnya terlebih dahulu hingga tak berkutik.
Perempuan
itu mendongak anggun. Seolah di antara kami tak pernah ada masalah, Miss
Snatcher tersenyum super ramah sembari menyilakanku duduk. Anehnya, aku
langsung menurut begitu saja. Dia begitu menghipnotis. Mungkin ini faktor kedua
yang mampu mengalihkan cinta Erik dariku. Pesona Vika membuat Erik terhipnotis
dan langsung jatuh cinta.
Tanganku
mulai merogoh isi tas, meraba setiap benda yang ada di sana siapa tahu bisa
berguna kalau dia mulai macam-macam. Sayangnya yang kupegang hanya lipstik,
sisir, bedak, coklat.. Yah hanya itu.
“Selamat
bergabung di divisi ini, Lala. Ehm.. Saya tau performancemu cukup diandalkan di Departemen Purchasing,” dia
berdehem sebentar lalu melanjutkan,”Saya berharap, ide-idemu mampu mensupport brand equity divisi kita di sini. Kita
tahu biskuit Healthy sudah mulai cukup populer di masyarakat, padahal masih
tergolong produk baru. Tapi tentu saja kita tidak boleh langsung puas. Kita
harus bisa membuat produk tersebut melekat pada konsumen. Yah.. Kamu pasti
paham maksudku. Kekompakan dalam tim adalah nomor satu”.
Tenggorokanku
macet, lidahku seperti di tempeli es batu dari kutub utara. Jadi aku hanya bisa
duduk kaku, sementara hatiku terus menerus menghujatnya. Saat kami dilingkupi
kesenyapan, dering pendek telepon intern bergema, nyaris membuatku terlompat
saking kagetnya. Benakku mulai digelayuti perasaan tak nyaman.
“Halo,
Erik”.
Jeda
sesaat.
“Lagi
ada Lala. Gimana mutu produk terakhir?” Suara Vika terdengar sehalus percikan
air di tengah gurun. Harus kuakui dia memang menarik dalam segala hal. Cara
bicaranya, penampilannya, bahkan caranya meraih gagang telepon pun tampak
mempesona. Mereka terus mengobrol masalah desain packing bermenit-menit
lamanya, sementara aku terhenyak tanpa daya memperhatikan perempuan yang berselingkuh
dengan mantanku itu. Hatiku tak bisa dibohongi, dia memang lebih unggul dariku.
Dalam segala hal.
oOo
Hampir
tiga bulan sudah aku jadi Assistant Brand Manager. Ratna memang benar. Vika tak
seburuk yang kubayangkan. Bahkan menurutku dia adalah atasan yang cukup
perhatian. Seolah hubungan kami bukan antara atasan dan bawahan, tapi mirip
teman kerja yang posisinya sejajar. Meski begitu aku masih bergeming menahan
jarak dengannya. Dendam itu masih kusimpan. Mungkin dia juga merasakannya.
Sejak awal, dia tak pernah sekalipun membicarakan Erik dan kulihat Erik pun tak
pernah menginjakkan sepatunya di ruanganku. Kalau bertelepon ria sih masih.
Hanya saja telingaku menangkap pembicaraan mereka berkisar seputar pekerjaan
saja.
Hingga
suatu ketika Vika harus ke Singapura, Erik masuk tanpa kusangka. Langkahnya
tegap menuju mejaku. Jantungku bertalu-talu. Mau apa dia kemari? Semenjak putus
sembilan bulan lalu, tak pernah sekalipun dia berinisiatif menemuiku. Jangankan
bertemu, melirik pun saat berpapasan saja tidak. Erik menyeret kursi. Melihat
wajahnya yang terpahat begitu sempurna nyaris membuat tatapanku tak bisa
teralihkan.
“Apa
kabar, La?”
Aku
berusaha meliukkan bibir untuk tersenyum. “Baik. Tumben nih pagi-pagi? Ada
apa?” Suaraku kubuat seriang mungkin.
“Nanti
malam free?”
Aku
terlongo. Dahiku mengerut dalam. Kenapa Erik bertanya begitu? Apakah dia
berniat mengajakku kencan? Wow! Alangkah berbinarnya duniaku jika memang hal
itu terjadi. Aku serasa mencuri piala emas Vika yang sudah digadang-gadang
selama berbulan-bulan. Lihat saja, Vika. Kamu bisa saja berbangga hati bisa
menggaet si ganteng Erik. Tapi di belakangmu, pria tersebut ternyata diam-diam
mendambaku.
“Nggg..
Kenapa?”
“Mau
ngajak makan malam. Udah lama banget nggak makan ama kamu.”
Kurasakan
ribuan confetti tak kasat mata berhamburan menghujaniku. Beruntung aku mampu
menahan diri untuk tidak bersorak dan menandak-nandak kegirangan. Erik
mengajakku makan malam? Setelah sekian lama mengabaikanku? Sungguh sebuah
kejutan! Tapi, tunggu dulu! Kok tiba-tiba dia menemuiku justru saat aku sudah
masuk divisi ini? Bukankah lebih bebas kalau dia melakukannya ketika aku masih
berkutat di Purchasing agar tidak ketahuan Vika? Tapi ya sudahlah.. Yang
penting nanti malam kami bisa bersama lagi.
Aku
tersenyum samar. “Oke”, putusku dan semoga dia tak melihat betapa merahnya
pipiku.
“Baik.
Jam tujuh aku jemput. See ya..”
Senyum
Erik menutup pertemuan terlarang kami. Dia bangkit. Sebelum menarik pintu,
entah sengaja atau tidak, di mengerling padaku. Astaga! Dadaku
berdentang-dentang seakan luluh lantah dan hatiku meleleh. Dalam sekejap rasa
sakit yang belum kunjung sembuh itu raib, tergantikan oleh harapan dan cinta
yang menungguku nanti malam. Tapi.. Kok rasanya aneh ya? Ah, sudahlah! Bukankah
cinta memang terkadang cukup rumit dinalar?
oOo
Erik
terlihat bagai model televisi masuk café. Tubuhnya yang kekar terbalut kaos
biru bertuliskan “My Love”. Aku tak tahu apakah tulisan tersebut menyiratkan
perasaannya padaku ataukah dia sekedar asal ambil di dalam lemari karena memang
menyukainya. Yang jelas malam ini dia sangat menawan. Kami duduk berhadapan di
sudut café yang dulunya biasa kami datangi. Momen-momen manis masa lalu
berkeliaran menyeruak berhamburan dari kotak memoriku. Aku berharap Erik juga
merasakan hal serupa. Setelah memesan menu, Erik mulai menghadapkan
pandangannya padaku.
“Lama
nggak ketemu kamu. Kangen,” ia tersenyum tipis.
Aku
tak mampu menahan diri. “Kamu sih. Sok cuek kalo ketemu. Seolah aku ini invisible,” tiba-tiba uneg-unegku
meluncur begitu saja.
Erik
terkekeh. Aku menghela napas jengkel. Jengkel dengan kegembiraan yang ia
tawarkan sedangkan aku bergulat dengan rasa yang menyesakkan. Dasar Erik!
“Hey,
dengar! Aku nggak bermaksud begitu. Yah.. Agar Vika nggak cemburu aja..”
Sumpit
di tanganku terkatung di udara. Sesaat sulit bagiku untuk memercayai
pendengaranku. Agar Vika tak cemburu? Maksudnya?
“Kok?”
“Kamu
pikir yang nyuruh kamu masuk divisi biskuit itu siapa?”
Mulutku
masih menganga.
“Aku,
La,” lanjut Erik enteng.
“Aku
mempromosikan kecakapanmu pada Vika. Tentu saja awalnya dia keberatan. Tapi.
Dia kan harus bersikap professional demi perusahaan.”
Aku
masih belum mampu mencerna penjelasan singkat Erik. “Tujuannya?”
“Astaga!
Kamu lupa atau gimana? Ayahku pemilik Nusantara Food, ingat? Tentu saja aku
harus tahu strategi marketing divisi biskuit Healthy. Kemajuan Healthy cukup
pesat bersaing ketat dengan Milkuit dari Nusantara Food. Sebagai calon pewaris
tunggal perusahaan tersebut, aku juga nggak mau Nusantara Food kalah.”
Sumpitku
jatuh menghantam hot plate. Ya ampun! Kenapa aku tak berpikir sampai ke sana?
Jadi Erik hanya memanfaatkan Vika saja? Oh, seandainya Miss Snatcher itu tahu
dirinya cuma diperalat. Aku sendiri saking kagetnya tak mampu berkomentar
apa-apa.
“Sekarang
ada kamu di divisi itu. Aku butuh segala informasi penting yang berkenaan
dengan brand equity. Tapi jangan sampai Vika tahu. Gimana, sayang?”
Dadaku
bergemuruh. Tak pernah kusangka sebelumnya Erik akan memelihara niat sepicik
itu. Mungkin dari segi persaingan antara aku dan Vika, akulah yang diam-diam
keluar jadi pemenangnya. Tapi sayangnya, dalam kompetisi kali ini, aku tak
berminat sama sekali jadi juara. Aku muak pada Erik. Dia bermain licik. Benih-benih
cinta yang mulai meyubur raib seketika disapu kenyataan yang baru saja ia akui.
Aku tak kuasa berlama-lama lagi. Maka aku bangkit sambil menggertakkan gigi
karena emosi, tak peduli pada makanan yang masih tinggal tiga perempat.
“Sori!
Kurasa aku nggak minat mendukung rencana bodohmu itu! Selamat malam!”
Kusambar
clutch bag putih di tepi meja lalu melangkah mantap meninggalkan Erik yang
termangu. Hatiku digerogoti rasa geram tak berkesudahan. Mendadak aku bahagia
tak lagi menjalin hubungan dengannya. Seenaknya saja dia memanfaatkan
perempuan. Lalu Vika? Yah, kurasa aku harus benar-benar total mendukung
perempuan itu. Dan entah mengapa, detik ini aku sangat merindukannya.