Sunday, 26 August 2018

Resensi Novel Pergi: Menetapkan Tujuan Hidup Ketika Berada di Persimpangan


"Sebuah kisah tentang menemukan tujuan, kemana hendak pergi, melalui kenangan masa lalu, pertarungan hidup-mati, untuk memutuskan ke mana langkah kaki akan dibawa. Pergi."

Novel “Pergi” termasuk salah satu buku karya Tere Liye yang saya tunggu-tunggu. Sekuel novel "Pulang" tersebut kembali menceritakan seluk beluk kehidupan Bujang alias Si Babi Hutan ketika menjabat sebagai Tauke Besar dalam Keluarga Tong. Novel ini dibuka dengan tensi yang cukup tinggi sehingga sedari awal, pembaca sudah dibuat tegang dan deg-degan. 

Bujang bersama Yuki, Kiko, White, dan Salonga melakukan penyerbuan ke Meksiko untuk mengambil kembali prototype anti-serangan siber yang dicuri El Pacho. El-Pacho merupakan sindikat penyelundup narkoba di Amerika Selatan. Saat momen inilah, Bujang dikagetkan oleh munculnya sosok pemuda yang pandai memetik gitar sekaligus petarung hebat. Bujang kalah saat bertarung. Sehingga prototype anti-serangan siber itu dibawa olehnya. Pemuda tersebut menyebut Bujang dengan "hermanito" yang berarti "adik laki-lakiku." Belum sempat Bujang memikirkan lebih jauh perihal pemuda tersebut, polisi setempat sudah datang hendak menangkap Bujang dan teman-temannya. Adegan kejar-kejaran pun dimulai. Ah, seru sekali.

Munculnya sosok mirip zorro itu sontak membuat Bujang gelisah. Perasaan Bujang campur aduk bahkan sempat terbersit dalam pikirannya bahwa ayahnya, Samad, adalah pembohong. Bujang berusaha mencari tahu tentang masa lalu ayahnya. Ia dan Salonga pergi menemui Tuanku Imam. Di sinilah Bujang tersadar tentang makna “pergi”. Hingga akhirnya pertanyaan “Ke mana aku akan pergi?” terus terngiang-ngiang dalam pikiran Bujang. Belum selesai Bujang mengurai fakta masa lalu, ancaman demi ancaman mengintai nyawanya. Ancaman-ancaman tersebut berasal dari Master Dragon, penguasa tertinggi shadow economy. Bahkan saking seriusnya ancaman tersebut, Rambang yang baru direkrut Bujang, tewas terkena serangan sniper. Pada adegan inilah, pembaca dibuat sedih dengan pengorbanan Rambang. 

Kematian Rambang membuat Bujang tak bisa berdiam diri. Ia mencari tahu nama pembunuhnya. Bahkan ketika menghadiri undangan pernikahan Keluarga Yamaguchi pun, Bujang tetap waspada.  Ia terkesan kurang menikmati pesta saking seriusnya mengawasi tamu undangan. Bujang khawatir ada penyusup yang akan meledakkan bom di tengah pesta. Kejutan lain muncul pada pesta Keluarga Yamaguchi. Bujang bertemu Thomas, tokoh utama dalam novel “Negeri Para Bedebah.” Wah, ini seru sekali. 

Pasca meledaknya bom yang diletakkan di dalam kue pernikahan, Yamaguchi meminta Bujang  membangun aliansi. Bujang, Salonga, dan Kaeda, anak tertua Hiro Yamaguchi, terbang ke Moskow. Mereka menemui Bratva yang dipimpin oleh Otets. Bratva adalah keluarga shadow economy yang menjalankan bisnis pabrik senjata berskala sangat besar di sana. 

Di sinilah adegan berbau romantis bercampur action terjadi. Bujang harus bertarung melawan Maria, putri Otets. Kalau Bujang menang, maka Bratva akan beraliansi dengan keluarga Tong. Pada momen inilah, Salonga tiada henti menggoda Bujang. Sebab Maria bukan cuma petarung tangguh tapi juga cantik sekali. 

Hari-hari Bujang berikutnya diisi dengan rencana demi rencana untuk menyerbu markas Master Dragon. Beberapa kendala muncul dan rencana terkadang tidak berjalan sesuai harapan. Bujang yang terbiasa berpikir taktis selalu menemukan celah untuk keluar dari masalah. Bahkan keajaiban demi keajaiban muncul pada detik-detik ketika nasib Bujang dan para keluarga yang beraliansi dengannya berada di ujung tanduk. 

Novel ini mengambil setting di berbagai negara yaitu Indonesia tentu saja, Meksiko, Jepang, Rusia, Singapura, dan Hongkong. Dibandingkan novel “Pulang” novel “Pergi” lebih kompleks. Ada adegan berbau romantis, haru, sedih, gemas, deg-degan, dan lucu. Di sini, karakter tiap tokoh lebih terlihat. Salonga yang dalam novel Pulang terkesan galak, ternyata pria 70 tahunan ini lucu dan usil menjahili Bujang. Beliau juga sosok pembunuh bayaran yang suka menasihati Bujang. Unik kan, seorang penjahat tapi bisa membuat Bujang termenung memikirkan jalan hidupnya. Keakraban sangat terasa ketika Bujang bersama Salonga, Yuki, Kiko, dan White bertarung bersama. Momen mengharukan ketika menjelang akhir pertempuran, Bujang meminta maaf pada Kiko dan Yuki. Ini mengharukan bagi saya. 

Hal yang saya suka, penulis tidak menggambarkan sosok Bujang sebagai tokoh yang sempurna. Bujang kalah melawan pemuda misterius ala zorro. Bujang juga “draw” melawan Maria. Pun Bujang merasa galau saat berusaha menguak misteri masa lalu ayahnya. Terlepas dari sifat manusianya, Bujang juga terkesan “wow” bagi saya. Dia sosok berpendidikan tinggi, cerdas, pandai bertarung, bisa menguasai diri, berpikir cepat, berani mengambil risiko. Saya suka sekali adegan ketika Bujang balik menatap tajam Otet. Terkesan kalau Bujang berani dan punya nilai lebih yang tidak boleh diragukan siapapun. 

Novel untuk usia 15 tahun ke atas ini juga bukan sekadar novel action yang isinya cuma pertempuran. Seperti biasa Tere Liye, menyelipkan pesan moral dalam buku ini. Jika novel Pulang memberikan pesan tentang berdamai dengan masa lalu. Maka novel pergi ini menyuguhkan pesan tentang ke mana kita akan membawa hidup ini? Saya selaku pembaca juga ikut instropeksi diri. Quote yang berkesan bagi saya adalah kalimat Tuanku Imam yaitu: “... Dalam perkara shalat ini, terlepas dari apakah seseorang itu pendusta, pembunuh, penjahat, dia tetap harus shalat, kewajiban itu tidak luntur. Maka semoga entah di shalat yang ke-berapa, dia akhirnya benar-benar berubah...” (Hal. 86). Keren kan? Dalam sebuah novel action yang terselip tulisan seperti itu.

Seperti novel Pulang, ada  pula adegan yang mengisyaratkan pesan tentang kerukunan antar umat beragama. Yaitu momen ketika Salonga yang non-muslim pergi ke pondok pesantren Tuanku Imam bersama Bujang. Di sana Tuanku Imam terlihat sangat akrab dengan Salonga. Tuanku Imam mendengarkan pengalaman Salonga ketika menempuh pendidikan di sebuah sekolah agama. Pun Salongan juga menghormati Tuanku Imam saat memberikan petuah pada Bujang perihal shalat. Mereka saling bercanda dengan santai. 

Adegan-adegan dan peralatan canggih nan keren juga banyak bertebaran dalam novel ini. Hal  yang melekat di kepala saya adalah ketika Bujang menggunakan alat pelontar. Tubuhnya melenting dan “terbang” ke gedung lain, lalu dengan penuh gaya, Bujang menembak jendela gedung tersebut. Bujang pun mendarat di salah satu ruangan di sana dengan mulus. Saya sampai membayangkan adegan tersebut dengan takjubnya.

Secara keseluruhan, novel ini bagi saya bagus. Saya suka sekali. Tapi saya agak kurang nyaman dengan munculnya Basyir yang “terlalu ajaib”. Sebab di awal tidak ada “clue” kalau Basyir akan datang. Mungkin akan lebih bikin pembaca penasaran jika sedari awal gelagat Basyir sudah dimunculkan. Walaupun cuma sekilas-sekilas. Biar pembaca ikut penasaran, eh ini Basyir atau sosok ini mau apa? Jangan-jangan jahat, jangan-jangan Basyir anggota tukang pukul Master Dragon. Kurang lebih begitulah.   

Lantas, bagaimanakah nasib Bujang ketika menyerang markas Master Dragon? Akankah dia bisa mengalahkan Master Dragon? Akankah Bujang bisa menguak siapa sebetulnya pria bergaya ala Zorro? Apa kaitan pria tersebut dengan keluarga penguasa shadow economy? Semua terjawab tuntas tanpa terasa ketika membaca buku ini.

Judul : Pergi
Penulis : Tere Liye
Co-author : Sarippudin
Penerbit : Republika
Halaman :  iv + 455 hal
Harga : 79 ribu
Terbit : April 2018
Sasaran pembaca: 15+
Rating : 4/5


10 comments:

Iwok Abqary said...

Woaaaah ... jadi makin penasaran baca novel yang ini. Kemarin mau beli ini, eh keburu Komet dan ceros launching, akhirnya si kakak pengen yang itu dulu. hehehe

Widya Ross said...

Ini buat pembaca 15 tahun ke atas, Kang Iwok hehehe. Baguss bangeet. Baca Pulang dulu baru baca ini 😊

Tika said...

Wah 15 tahun ke atas ya? *syedih

Widya Ross said...

@Tika: soalnya mungkin ada adegan bertarung, Mbak 😊. Dan bahasanya juga kekas tinggi hehehe

Santi Suhermina said...

Abaikan umur. Saya aja masih *sweat* seventeen 😅

Widya Ross said...

@Santi: hahaha. Awet muda nih Mbak Santi 😁

Akhmad Muhaimin Azzet said...

Waaah, sangat menarik, jadi kepengin baca "Pergi" secara langsung nih...

Widya Ross said...

@Akhmad: yuk dibaca. Seru banget 👍

trip guwe said...

wah mantap nih tulisannya
kebetuan saya juga menggemari tulisan tere liye

Triani Retno A said...

Aku udah bacaaaa. Langsung beli pas baru terbit saking penasarannya.Kan lumayan tuh selang waktunya dari Pulang.

Tapi bagiku ceritanya terlalu keras. Hehe....seleratif subjektif sih ya. Aku lebih suka yang seri Bumi. Tapi tetep aja sih baca yang Pergi :D

Post a Comment

JAGA KECANTIKAN DIRI, JAGA LINGKUNGAN

Jerawatan? Wajah kusam? Itu adalah masalah kulit saya sejak SMA. Kalau cuma kusam masih lumayan lah. Yang membuat tidak percaya diri adalah ...