KERUPUK
CUMI VANIA
Vania duduk sedih di toko kerupuknya. Tak
ada satu pembeli pun yang berbelanja di tokonya. Dagangan Vania kalah laris
dengan keripik buah yang memiliki aneka macam warna dan rasa.
“Kalau terus-terusan begini aku bisa
bangkrut. Kasihan Ibu,” Vania membatin.
Merasa sudah tak akan ada lagi pembeli
yang datang, Vania bangkit. Ia berencana menutup tokonya. Saat hendak
menggembok pintu tokonya, tiba-tiba datanglah seorang kakek. Pakaiannya agak
basah dan lusuh. Sepertinya beliau seorang nelayan. Jantung Vania berdegup
girang.
“Mau beli kerupuk, Kek?” tanyanya
ramah.
Sang kakek menggeleng sedih. “Maaf,
Nona. Saya kemari bermaksud menawarkan cumi-cumi hasil tangkapan saya. Anak
saya sakit keras. Para penduduk tak ada yang mau beli.”
Vania mengerjap. Dalam hati ia merasa
sangat kasihan terhadap kakek itu. Tapi kalau nekat membeli cumi-cumi, dia mau
membayar dengan apa? Tanpa sadar Vania meraba cincin emasnya.
“Maaf, Kek. Saya tidak bisa membayar
dengan uang. Bagaimana kalau dengan cincin ini?” tawar Vania seraya menunjukkan
cincinnya.
Wajah sang kakek berbinar. “Boleh.”
Dengan berat Vania menarik cincin
pemberian ibunya saat ulang tahun sembilan bulan yang lalu. Vania
mengulurkannya pada sang kakek.
“Terima kasih banyak ya, Non. Semoga
kebaikan hati Nona dibalas Sang Maha Kuasa,” ujar sang kakek terbata.
Vania tersenyum kecut. Kakek tersebut
pergi setelah meletakkan sekotak besar cumi-cumi di depan pintu toko Vania.
oOo
Setiba di rumah, Vania bercerita pada
ibunya. Berkali-kali Vania minta maaf karena merasa bersalah, akibat tidak bisa
membeli obat untuk ibunya. Parahnya lagi ia justru memberikan cincin
kesayangannya pada orang lain
“Sudahlah, Vania. Tidak apa-apa. Kakek
itu memang butuh bantuan,” kata Ibu Vania lirih.
“Terus, cumi-cuminya kita apakan, Bu?
Banyak begini. Apa kita jual lagi buat beli tepung tapioka untuk bahan kerupuk
putih? Tepung kita tinggal sedikit,” kata Vania, masih dengan ekspresi murung.
“Jangan dijual. Kamu kan tadi cerita,
penduduk tak mau beli. Hasil cumi-cumi di desa memang melimpah ruah. Buat
kerupuk saja lah. Kita juga bosan toh, makan cumi-cumi terus. Kerupuknya nanti
kita pakai sebagai lauk,” jelas ibu Vania dari atas tempat tidur.
oOo
Keesokan harinya sebelum subuh, Vania mulai
membersihkan semua cumi-cumi, kemudian menggilingnya. Selanjutnya ia mencampur
adonan cumi-cumi dengan tepung tapioka, bawang putih cincang, dan garam. Begitu
bahan-bahan sudah tercampur rata, Vania membentuknya menjadi bulatan memanjang.
Setelah selesai, Vania merebusnya hingga mengapung. Ia menciduk adonan kerupuk
matang dengan sendok kayu, lalu mengirisnya tipis-tipis. Kemudian Vania
menjemurnya.
Menjelang tengah hari, irisan kerupuk
Vania sudah kering. Lantas ia menggorengnya. Saat tengah sibuk mengaduk kerupuk
dalam minyak panas, Bu Krista, tetangganya, mampir ke dapurnya.
“Hai, Vania. Lagi menggoreng apa ya?
Kok baunya enak sekali,” ujar Bu Krista di ambang pintu dapur.
“Oh, ini, Bu Krista. Kerupuk Cumi,”
sahut Vania sopan.
“Hah? Kerupuk Cumi? Wah! Baru ya?
Harganya berapa, Van? Saya jadi penasaran kepingin beli.”
Sekarang giliran Vania yang terkejut.
Haruskah ia menjualnya? Bukankah rencananya kerupuk tersebut mau dijadikan
lauk? Bagaimana kalau ternyata rasa kerupuknya aneh dan tidak enak?
“Eng.. Sebaiknya Bu Krista
mencicipinya terlebih dahulu. Saya khawatir rasanya tidak enak,” putus Vania.
Bu Krista mengangguk. Beliau mencomot
sebuah kerupuk yang baru matang dan memakannya.
“Emm… Emm… Enak, Vania. Pokoknya saya
beli lima kilo. Karena mau ada tamu nanti malam,” cetus Bu Krista antusias.
Otak Vania terusik. Kalau kerupuknya
dibuat suguhan untuk tamu, bukankah hal itu adalah suatu keberuntungan. Makin
banyak orang yang mencicipi Kerupuk Cumi buatannya, makin banyak orang yang
berminat membelinya. Sebab menurut Bu Krista, rasa kerupuknya enak.
“Baiklah kalau begitu. Nanti sore
diambil di toko ya, Bu Krista. Terima kasih sebelumnya,” ujar Vania ceria.
Akhirnya Kerupuk Cumi Vania laku.
Walaupun hanya Bu Krista saja yang membeli. Malam-malam saat hendak menggembok
pintu toko, Bu Krista datang lagi bersama para tamunya. Mereka bermaksud
memborong Kerupuk Cumi. Kerupuk Cumi pun tandas. Oh, alangkah senangnya Vania.
Uang hasil penjualan Kerupuk Cumi ia belikan obat untuk ibunya. Beberapa hari
kemudian ibu Vania sembuh.
Kini toko kerupuk Vania laris diserbu
pembeli. Kerupuk Cumi buatan Vania selalu habis tiap hari. Lantas bagaimana
dengan kerupuk putih yang tak laku-laku? Vania tak kehilangan akal. Ia
mencampur kerupuk-kerupuk tersebut dengan bubuk cabai, lalu dijual lagi.
Hasilnya? Masyarakat menyukainya. Kerupuk Pedas tersebut juga laku keras.
Sungguh beruntung Vania. Kebaikan hati
dan kreativitas yang dimilikinya mengantarkan Vania menjadi pedagang kerupuk
yang kaya raya.
2 comments:
Jadi pengennn kerupukk cumiii :D Cerpennya bagus... menginspirasi :)
Aku belum pernah makan kok Mbak hehehehe. Gara2 liat proses pembuatannya aja di TV :)
Post a Comment