Tuesday, 24 July 2012

Cerpen ini dimuat Majalah Bravo tahun 2012, tapi lupa bulan dan tanggalnya :)


KERUPUK CUMI VANIA

Vania duduk sedih di toko kerupuknya. Tak ada satu pembeli pun yang berbelanja di tokonya. Dagangan Vania kalah laris dengan keripik buah yang memiliki aneka macam warna dan rasa.
“Kalau terus-terusan begini aku bisa bangkrut. Kasihan Ibu,” Vania membatin.
Merasa sudah tak akan ada lagi pembeli yang datang, Vania bangkit. Ia berencana menutup tokonya. Saat hendak menggembok pintu tokonya, tiba-tiba datanglah seorang kakek. Pakaiannya agak basah dan lusuh. Sepertinya beliau seorang nelayan. Jantung Vania berdegup girang.
“Mau beli kerupuk, Kek?” tanyanya ramah.
Sang kakek menggeleng sedih. “Maaf, Nona. Saya kemari bermaksud menawarkan cumi-cumi hasil tangkapan saya. Anak saya sakit keras. Para penduduk tak ada yang mau beli.”
Vania mengerjap. Dalam hati ia merasa sangat kasihan terhadap kakek itu. Tapi kalau nekat membeli cumi-cumi, dia mau membayar dengan apa? Tanpa sadar Vania meraba cincin emasnya.
“Maaf, Kek. Saya tidak bisa membayar dengan uang. Bagaimana kalau dengan cincin ini?” tawar Vania seraya menunjukkan cincinnya.
Wajah sang kakek berbinar. “Boleh.”
Dengan berat Vania menarik cincin pemberian ibunya saat ulang tahun sembilan bulan yang lalu. Vania mengulurkannya pada sang kakek.
“Terima kasih banyak ya, Non. Semoga kebaikan hati Nona dibalas Sang Maha Kuasa,” ujar sang kakek terbata.
Vania tersenyum kecut. Kakek tersebut pergi setelah meletakkan sekotak besar cumi-cumi di depan pintu toko Vania.
oOo
Setiba di rumah, Vania bercerita pada ibunya. Berkali-kali Vania minta maaf karena merasa bersalah, akibat tidak bisa membeli obat untuk ibunya. Parahnya lagi ia justru memberikan cincin kesayangannya pada orang lain
“Sudahlah, Vania. Tidak apa-apa. Kakek itu memang butuh bantuan,” kata Ibu Vania lirih.
“Terus, cumi-cuminya kita apakan, Bu? Banyak begini. Apa kita jual lagi buat beli tepung tapioka untuk bahan kerupuk putih? Tepung kita tinggal sedikit,” kata Vania, masih dengan ekspresi murung.
“Jangan dijual. Kamu kan tadi cerita, penduduk tak mau beli. Hasil cumi-cumi di desa memang melimpah ruah. Buat kerupuk saja lah. Kita juga bosan toh, makan cumi-cumi terus. Kerupuknya nanti kita pakai sebagai lauk,” jelas ibu Vania dari atas tempat tidur.
oOo
Keesokan harinya sebelum subuh, Vania mulai membersihkan semua cumi-cumi, kemudian menggilingnya. Selanjutnya ia mencampur adonan cumi-cumi dengan tepung tapioka, bawang putih cincang, dan garam. Begitu bahan-bahan sudah tercampur rata, Vania membentuknya menjadi bulatan memanjang. Setelah selesai, Vania merebusnya hingga mengapung. Ia menciduk adonan kerupuk matang dengan sendok kayu, lalu mengirisnya tipis-tipis. Kemudian Vania menjemurnya.
Menjelang tengah hari, irisan kerupuk Vania sudah kering. Lantas ia menggorengnya. Saat tengah sibuk mengaduk kerupuk dalam minyak panas, Bu Krista, tetangganya, mampir ke dapurnya.
“Hai, Vania. Lagi menggoreng apa ya? Kok baunya enak sekali,” ujar Bu Krista di ambang pintu dapur.
“Oh, ini, Bu Krista. Kerupuk Cumi,” sahut Vania sopan.
“Hah? Kerupuk Cumi? Wah! Baru ya? Harganya berapa, Van? Saya jadi penasaran kepingin beli.”
Sekarang giliran Vania yang terkejut. Haruskah ia menjualnya? Bukankah rencananya kerupuk tersebut mau dijadikan lauk? Bagaimana kalau ternyata rasa kerupuknya aneh dan tidak enak?
“Eng.. Sebaiknya Bu Krista mencicipinya terlebih dahulu. Saya khawatir rasanya tidak enak,” putus Vania.
Bu Krista mengangguk. Beliau mencomot sebuah kerupuk yang baru matang dan memakannya.
“Emm… Emm… Enak, Vania. Pokoknya saya beli lima kilo. Karena mau ada tamu nanti malam,” cetus Bu Krista antusias.
Otak Vania terusik. Kalau kerupuknya dibuat suguhan untuk tamu, bukankah hal itu adalah suatu keberuntungan. Makin banyak orang yang mencicipi Kerupuk Cumi buatannya, makin banyak orang yang berminat membelinya. Sebab menurut Bu Krista, rasa kerupuknya enak.
“Baiklah kalau begitu. Nanti sore diambil di toko ya, Bu Krista. Terima kasih sebelumnya,” ujar Vania ceria.
Akhirnya Kerupuk Cumi Vania laku. Walaupun hanya Bu Krista saja yang membeli. Malam-malam saat hendak menggembok pintu toko, Bu Krista datang lagi bersama para tamunya. Mereka bermaksud memborong Kerupuk Cumi. Kerupuk Cumi pun tandas. Oh, alangkah senangnya Vania. Uang hasil penjualan Kerupuk Cumi ia belikan obat untuk ibunya. Beberapa hari kemudian ibu Vania sembuh.
Kini toko kerupuk Vania laris diserbu pembeli. Kerupuk Cumi buatan Vania selalu habis tiap hari. Lantas bagaimana dengan kerupuk putih yang tak laku-laku? Vania tak kehilangan akal. Ia mencampur kerupuk-kerupuk tersebut dengan bubuk cabai, lalu dijual lagi. Hasilnya? Masyarakat menyukainya. Kerupuk Pedas tersebut juga laku keras.
Sungguh beruntung Vania. Kebaikan hati dan kreativitas yang dimilikinya mengantarkan Vania menjadi pedagang kerupuk yang kaya raya.








2 comments:

Unknown said...

Jadi pengennn kerupukk cumiii :D Cerpennya bagus... menginspirasi :)

Widya Ross said...

Aku belum pernah makan kok Mbak hehehehe. Gara2 liat proses pembuatannya aja di TV :)

Post a Comment

JAGA KECANTIKAN DIRI, JAGA LINGKUNGAN

Jerawatan? Wajah kusam? Itu adalah masalah kulit saya sejak SMA. Kalau cuma kusam masih lumayan lah. Yang membuat tidak percaya diri adalah ...